Kamis, 14 April 2011

TAUHID_abdul.com


TAUHID

I.          PENDAHULUAN
Alastu birabbikum (bukankah aku ini tuhanmu)? Tanya Allah kepada manusia sebelum ia dilahirkan. Manusia itu menjawab tegas, bala syahida (betul, engkau adalah tuhan kami. Kami mejadi saksi akan hal itu).
Perjanjian primordial antara manusia dan tuhan sebagaimana di informasikan oleh ayat 172 surat al-A’raf di atas mengandung arti bahwa manusia pada dasarnya memiliki fitrah berupa keimanan kepada Allah SWT Ia dilahirkan dengan bekal tauhid, bukan dalam keadaan ateis atau musyrik.
Namun dalam perkembangaya peran lingkunganlah yang mempengaruhi tentang ketauhidan seseorang. Maka itu perlulah dikaji tentang tauhid.
Tauhid adalah pegangan pokok dan sangat menentukan bagi kehidupan manusia, karena tauhid menjadi landasan bagi setiap amal yang dilakukan. Hanya amal yang dilandasi dengan tauhidullah, menurut tuntunan Islam, yang akan menghantarkan manusia kepada kehidupan yang baik dan kebahagiaan yang hakiki di alam akhirat nanti.

II.       RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini akan di bahas tentang tauhid mengenai :
A.    Pengertian Tauhid
B.     Sejarah Ilmu Tauhid
C.     Pembagian Tauhid
D.    Tauhid dalam Ibadah




III.    PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tauhid
Perkataan tauhid berasal dari bahsa arab, masdar dari kata wahhada, yuwahhidu. Secara etimologis, tauhid berarti keesaan.[1] Maksudnya, I’tikad atau keyakinan bahwa Allah adalah Esa; tunggal; satu.
Sedangkan ilmu tauhid sendiri mempunyai beberapa pengertian, diantaranya :
1)      Menurut Muhammad Abduh tauhid ialah ilmu yang membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat yang wajib tetap pada-Nya, dan tentang sifat-sifat yang sama sekali wajib dilenyapkan pada-Nya. Juga membahas tentag rasul-rasul Allah, meyakinkan kerasulan mereka, apa yang boleh dihubungkan (dinisbatkan) kepada mereka, dan apa yang terlarang meenghubungkannya pada mereka.[2]
2)      Husain Affandi al-Jasr mengatakan “ilmu tauhid adalah ilmu yag membahas hal-hal yang menetapkan akidah agama dengan dalil-dalil yang meyakinkan.
3)      Prof. M. Thahir A. Muin memberikan definisi sebagai berikut:
“Tauhid ialah ilmu yang menyelidiki dan membahas soal yang wajib, mustahil, dan yang jaiz bagi Allah dan bagi sekalian utusan-utusan-Nya; juga mengupas dalil-dalil yang mugkin cocok degan akal pikiran sebagai alat untuk membuktikan ada-Nya zat yang mewujudkan”.[3]
Disamping definisi-definisi diatas masih banyak definisi lain yang dikemukakan oleh para ahli. Nampaknya, belum ada kesepakan kata diantara mereka mengenai definisi ilmu tauhid ini. Meskipun demikian, apabila disimak apa yang tersurat dan tersirat dari definisi-definisi yang diberikan mereka, masalah tauhid berkisar pada persoalan-persoalan yang berhubungan dengan Allah, rasul atau nabi, dan hal-hal yang berkenaan dengan kehidupan manusia sesudah mati. Dengan kata lain, masalah-masalah yang dibahas di dalam ilmu tauhid meliputi mabda (persoalan yang berhubungan dengan Allah), wasitah (masalah yang berkaitan dengan perantara atau penghubung anatara manusia dengan tuhan), dan ma’ad (hal-hal yang berkenaan dengan hari yang akan datang atau kiamat).
Urgensi Tauhid: Seorang hamba meyakini dan mengakui bahwa Allah SWT semata, Rabb (Tuhan) segala sesuatu dan rajanya. Sesungguhnya hanya Dia yang Maha Pencipta, Maha Pengatur alam semesta. Hanya Dia lah yang berhak disembah, tiada sekutu bagiNya. Dan setiap yang disembah selain-Nya adalah batil. Sesungguhnya Dia SWT bersifat dengan segala sifat kesempurnaan, Maha Suci dari segala aib dan kekurangan. Dia SWT mempunyai nama-nama yang indah dan sifat-sifat yang tinggi.[4]
Selama hayatnya, rasulullah SAW berjuang dengan gigih menegakkan tauhid ditengah masyarakat yang hidup dalam kekafiran dan kemusyrikan. Beliau mengajak mereka untuk bertauhid, dan memberika pendidiksn ketauhidan yang intensif kepada para sahabat dan pengikutnya.
Meskipun inti pokok risalah Nabi Muhammad SAW adalah tauhid, namun pada masa beliau tauhid belum merupakan ilmu keislaman yang berdiri sendiri. Tauhid sebagai ilmu baru dikenal ratusan tahun sesudah beliau wafat. Istilah ilmu tauhid itu sendiri baru muncul pada abad ketiga hijriah; tepatnya dizaman pemerintaha Khalifah al-Makmun (813-833), khalifah ketujuh pada masa dinasti Bani Abbas.
B.     Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Tauhid
1.      Lahirnya Ilmu Tauhid
Sumber ilmu tauhid adalah al-Quran dan hadits yang dikembangkan dengan dalil-dalil akal dan disuburkan dengan  olah pikir filsafat dan unsur-unsur lainnya. Pengembangan tersebut terjadi sekitar dua abad setelah Rasulullah SAW wafat.[5]
Filsafat dan unsur-unsur lain yang masuk keduia Islam bayak memberikan sumbangan positif bagi perkembangan ilmu tauhid, tetapi tidak sedikit pula yang membawa pengaruh negatife; bahkan menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam. Munculnya bermacam-macam aliran dan sekte yang saling mengkafirkan diantara sesamanya tidak terlepas dari dampak filsafat dan unsur-unsur diluar Islam tersebut.
Persentuhan kaum muslimin dengan budaya dan peradaban asing, terutama yang berhubungan dengan filsafat ketuhaan, mendorong mereka untuk mempelajari dan menguasai filsafat dan ilmu-ilmu lainnya. Dengan begitu, mereka dapat meningkatkan kualitas keilmuan dan mampu memberikan argumentasi rasional tentang kebenaran ajaran Islam. Persentuhan ini melahirkan asimilasi antar budaya dan peradaban; Islam dan asing. Hal inilah yang memperkaya khazanah ilmu tauhid.
Apa yang melatarbelakangi keberadaan tauhid menjadi ilmu yang berdiri sediri? Sebenarnya bayak sekali faktor yang mendorong kehadiran tauhid sebagai ilmu. Namun, jika dikaji secara keseluruhan , ia dapat dikelompokkan kepada dua faktor, yaitu faktor intern dan ekstern. Berikut ini ringkasan dari uraian Ahmad Amin dalam bukunya dhuha al-Islam mengenai dua faktor tersebut.
a.       Faktor Intern
Yang dimaksud dengan faktor intern ialah faktor yang berasal dari Islam sendiri. Faktor-faktor tersebut antara lain:
1.      Al-Qur’an, disamping berisi masalah ketauhidan, kenabian, dll, berisi pula semacam apologi dan polemik, terutama terhadap agama-agama yang ada pada waktu itu.misalnya: surat al-an’am ayat 76-78 berisi penolakan terhadap kemusyrikan (orang yang bertuhan binatang)
2.      pada periode pertama, masalah keimanan tidak dipersoalakan secara mendalam. Setelah nabi wafat dan umat islam bersentuhan dengan kebudayaan dan peradaban asing, mereka mulai mengenal filsafat. Merekapun mengfilsafati ayat-ayat al-Qur’an, terutama ayat-ayat yang secara lahir tampak satu sama lain tidak sejalan, bahkan kelihatan bertentangan. Hal tersebut perlu dipecahkan sebaik mungkin, dan nutuk memecahkannya diperlukan suatu ilmu tersediri.
3.      Masalah politik, terutama yang berkenaan dengan khalifah, menjadi faktor pula dalam kelahiran ilmu tauhid. Persoalan tersebut bermula dari terbunuhnya khalifah usman bin affan yang melahirkan perdebatan teologis dikalangan umat islam; apakah pembunuh usman itu berdosa atau tidak.
b.      Faktor ekstern
Yang dimaksud dengan faktor eksteren ialah yang datang dari luar islam. Faktor tersebut antara lain ialah pola pikir ajaran agama lain yang dibawa oleh orang-orang tertentu—termasuk umat islam yang dahuluya menganut agama lain—kedalam ajaran islam. Disamping itu, sebagian umat islam juga ada yang mempelajari filsafat yunai dan ilmu pegetahuan lainnya utuk kepetingan dakwah islam kepada kaum intelektual dan kelompok terpelajar. Persetuhan tersebut, segaja tidak, melahirka asimilasi dan akulturasi antara pola pikir islam dan non islam. Hal ini memberikan andil yang besar terhadap kelahiran ilmu tauhid.
2.      Ketauhidan di Zaman Nabi dan Khulafaurrosidin
Meskipun tauhid sebagai ilmu baru mucul pada abad ke3 H, namun dizaman rasul SAW tauhid ditanamkan beliau secara mendalam kepada para sahabat, baik melalui pejelasan dan tingkah laku bertauhid. Pada masa ini, umat islam tidak megalami kesulitan dalam memecahkan berbagai problema keagamaan, hal ini disebabkan apabila mereka menemui suatu masalah, mereka langsung menanyakan kepada nabi Muhammad, sehingga tidak ada satu masalahpun yang takterselesaikan.
Pada zaman kholifah abu bakar (632-634 M) dan umar bi khattab (634-644 M) problema keagamaan juga relatife kecil, termasuk masalah akidah. Umat islam disibukkan oleh penyelesaiaan masalah dalam negeri (dizaman abu bakar) dan ekspansi perluasan wilayah (di zaman umar). Tapi, setelah umar wafat dan usman bin affan naik tahta (644-656 M) fitnahpun timbul dan memuncak dengan terbunuhya usman bin afan.
Perselisihan di kalangan umat islam terus berlanjut dizaman pemerintahan ali bin abi thalib (656-661 M) dengan terjadinya perang saudara (perang jamal dan shiffin). Pertempuran jamal dapat dimenangkan oleh ali. Sedangkan pertempuran shifin (dengan muawiyah) berakhir dengan tahkim (arbitrase).
Tahkim ternyata tidak meyelesaiakan sengketa seluruhnya, bahkan menyebabkan umat islam makin terpecah. Hal ini ditunjukan dengan munculnya kelompok-kelompok dalam islam yaitu khowarij, syiah, pedukung muawiyah, da orang-orang netral.
Dalam kondisi politik sebagai mana digambarkan diatas, sebagian orang dari masing-masing kelompok memperkuat pendapat dan pendirianya dengan aya –ayat al-Qur’an. Sejak saat itu, mereka melakukan takwil terhadap ayat-ayat tertentu (ayat mutasyabihat). Hal ini berpengaruh perkembangan tauhid, terutama lahir dan tumbuhya aliran-aliran teologi dalam islam.
3.      Ketauhidan di Zaman Bani Umayah dan Seterusya
pada zama bani umaiyyah ( 661-750 M) masalah akidah menjadi perdebatan yang hagat dikalangan umat islam. Di zaman inilah lahir berbagai aliran teologis seperti murjiah, qadariyah, jabariyah, mu’tazilah. Mereka mempermasalahkan tetang muslim yang membuat dosa besar, perbuatan mausia dalam hubungannya dengan kehendak dan kekuasaan mutlak tuhan, sifat-sifat tuhan dan sebagaiya.
Pada zaman bani abas (750-1258 M) filsafat yunai dan sains banyak dipelajari umat islam. Masalah tauhid mendapat tantangan cukup berat. Kaum muslimi tidak bisa mematahkan argumentasi filosofis orang lain tanpa mereka meggunakan senjata filsafat dan rasional pula. Untuk itu, bangkitlah mu’tazilah mempertahankan ketauhidan dengan argumentasi-argumentasi filosofis tersebut. Namun. Sifat mu’tazilah yang terlalu mengagungkan akal dan melahirkan berbagai pendapat kontroversial meyebabkan kaum tradisoanal tidak menyukaiya. Akhirya, lahir aliran ahlusunah waljamaah degan tokoh besarnya Abu Hasyim al-Asyari dan Abu Masur al-Maturidi. Aliran ini mempertahankan faham tradisioal yang kebanyakan tidak sejalan dengan faham mu’tazilah. Dalam perkembangan selanjutya, aliran ahlisunnah waljamaah  inilah yang dianut oleh mayoritas kaum muslimin higga sekarang.
Alira ini mecoba mengkompromikan antara dalil-dalil naqli (al-Qur’an dan hadits) dan dalil-dalil aqli (logika atau mantiq) dengan tidak mengabaikan, bahka mendahulukan nash. Karema itulah rupanya sehingga aliaran ini diterima mayoritas umat islam.
C.    Pembagian Tauhid
Bagian-bagian tauhid sebagai suatu ilmu dapat dibagi menjadi lima aspek : Tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah atau ubudiyah, tauhid sifat, tauhid qauli, dan tauhid amali. Tauhid rububiyah ialah keyakinan seorang muslim bahwa alam semesta ini diciptakan oleh Allah SWT dan selalu mendapat pengawasan dan pemeliharaan Allah.
Tauhid uluhiyah atau ubudiyah merupakan tekad yang bulat dari seorang muslim bahwa segala pujian, doa, dan harapan, amal dan perbuatannya hanya semata untuk pengabdian dan kebaktian kepada Allah SWT.
Tauhid sifat berarti segala sifat Allah SWT sebagaimana dijelaskan di dalam al-Qur’an dan hadist harus tertanam dalam jiwa, kepribadian, dan hidup keseharian seorang muslim.
Tauhid qauli dan tauhid amali dimaksudkan bahwa tauhid tidak hanya terhujam di dalam hati (iktikad belaka), tapi harus diikrarkan (diucapkan) dengan lidah dan dibuktikan dengan amal dan perbuatan.
D.    Tauhid Sebagai Ibadah
Seorang Muslim meyakini ketuhanan Allah bagi mereka yang terdahulu dan yang akan datang, ketuhanan-Nya bagi seluruh alam. Bahwasannya tidak ada Tuhan melainkan Allah, tiada Tuhan selain Dia. Oleh karena itu, dia hanya menyembah Allah dengan seluruh penyembahan yang telah disyari’atkan Allah kepada hamba-hamba-Nya agar mereka menyembah dengan tata cara tersebut. Mereka tidak mengerjakan sesuatu bagi selain Allah. Jika meminta pertolongan, mereka memintanya kepada Allah. Dan jika bernazar, mereka tidak bernazar kepada selain Allah. Allahlah pemilik segala amal batin seperti khauf (ketakutan) dan raja (harapan), kebergantungan dan kasih sayang , keagungan dan tawakal. Adapun amal yang lahir adalah shalat, zakat, puasa, haji dan jihat. Semua itu berdasarkan dall-dalil naqli dan aqli berikut ini[6] :
1.      Dalil naqli  
Firman Allah :
ûÓÍ_¯RÎ) $tRr& ª!$# Iw tm»s9Î) HwÎ) O$tRr& ÎTôç6ôã$$sù ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ü̍ò2Ï%Î! ÇÊÍÈ
Artinya :
“Sesungguhnya Aku Ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain aku, Maka sembahlah Aku dan Dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”. ( QS. Thaha : 14 )


ãAÍit\ムsps3Í´¯»n=yJø9$# Çyr9$$Î/ ô`ÏB ¾Ín̍øBr& 4n?tã `tB âä!$t±o ô`ÏB ÿ¾ÍnÏŠ$t6Ïã ÷br& (#ÿrâÉRr& ¼çm¯Rr& Iw tm»s9Î) HwÎ) O$tRr& Èbqà)¨?$$sù ÇËÈ
Artinya :
“Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, yaitu: "Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan aku, Maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku". ( QS. An-Nahl : 2 )

!$tBur $uZù=yör& `ÏB šÎ=ö6s% `ÏB @Aqߧ žwÎ) ûÓÇrqçR Ïmøs9Î) ¼çm¯Rr& Iw tm»s9Î) HwÎ) O$tRr& Èbrßç7ôã$$sù ÇËÎÈ
Artinya :
“Dan kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada


Tuhan (yang hak) melainkan aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku". ( QS. Al-Anbiyaa’  : 25 )
2.      Dalil Aqli
a.       Mandirinya Allah dalam menciptakan, memberi rizki, dalam mengatur, mendayagunakan, sehingga hal itu mewajibkan kita hanya beribadah kepada Allah .
b.      Semua makhluk Allah diatur oleh Allah dan berpusat kepada Allah sehingga adanya Tuhan yang di sembah manusia selain Allah tidak bisa dibenarkan. 
c.       Jika keadaan yang di mohon, yang diminta pertolongan atau yang diminta perlindungan tidak memiliki sesuatu apapun yang bisa diberikan atau diminta maka hal tersebut mewajibkan batalnya permohonan, permintaan pertolongan, nazar kepadanya atau berkeyakinan serta bertawakal kepadanya.

IV.       KESIMPULAN
Kami bisa menyimpulkan bahwa Seorang Muslim meyakini ketuhanan Allah bagi mereka yang terdahulu dan yang akan datang, ketuhanan-Nya bagi seluruh alam. Bahwasannya tidak ada Tuhan melainkan Allah, tiada Tuhan selain Dia. Oleh karena itu, dia hanya menyembah Allah dengan seluruh penyembahan yang telah disyari’atkan Allah kepada hamba-hamba-Nya agar mereka menyembah dengan tata cara tersebut. Mereka tidak mengerjakan sesuatu bagi selain Allah. Jika meminta pertolongan, mereka memintanya kepada Allah. Dan jika bernazar, mereka tidak bernazar kepada selain Allah. Allahlah pemilik segala amal batin seperti khauf (ketakutan) dan raja (harapan), kebergantungan dan kasih sayang, keagungan dan tawakal. Adapun amal yang lahir adalah shalat, zakat, puasa, haji dan jihat yang dimaksud dengan hal ini ialah tidak adanya pencipta (khaliq) yang sebenarnya. Dalam wujud alam semesta ini selain allah, dan tidak ada pelaku yang bertindak sendiri dan merdeka sepenuhnya selain Allah.
 Segala sesuatu didalam dunia maya ini baik berupa bintang-bintang, bumi, gunung-gunung, lautan, logam, awan, guruh, petir, tetumbuhan, pepohonan, manusia, hewan, malaikat, jin, maupun segala sesuatu lainnya yang biasa disebut sebagai pelaku atau penyebab pada hakikatnya adalah benda-benda yang tidak dapat berpindah sendiri secara sempurna, dan tidak memiliki pengaruh yang mandiri sepenuhnya. Segala pengaruh yang dinisbahkan kepada benda-benda itu tidaklah berasal dari jasadnya sendiri secara merdeka dan mendiri tetapi semua pengaruh itu bermuara pada Allah SWT.
 Dengan demikian, segala sebab dan akibat, kendatipun adanya keterkaitan antara kedua-duanya, adalah makhluk (hasil ciptaan). Kepadanyalah bermuara segala sebab, ialah yang melimpahkan semua itu kepada benda, dan ia pulalah yang mencabut semua itu dari segala benda, jika diinginkan olehnya.

V.          PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami buat, apabila masih banyak terjadi kesalahan dalam penyusunan makalah ini, maka kami mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif  supaya dalam penyusunan makalah ke depan lebih baik. Semoga makalah ini dapat bermafaat bagi pemakalah dan pembaca pada umumnya.
















DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Muhammad, risalah al-tauhid, Al-Manar, Cet. ke-2, tt
Asmuni, H. M. Yusran, ilmu tauhid, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1993
El-jazairi, abu bakar jabir,  minhajul  muslim, Bandung : Remaja Rosdakarya,   1990
Muin, M. Thahir A., ikhtisar ilmu tauhid, Yogyakarta : Kita, tt
Saleh al-fauzan, fiqh sehari-hari, Depok : Gema Insani, 2006





























MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah: Akhlaq tasawuf
Dosen Pengampu: Bpk. Djohan Masruhan, Drs,  MM, H.

IAIN (Polos).jpg

Oleh :
Abdul Ghafar                              92111001 ( Anggota )
Abdul Latif                                 92111002 ( ketua )
Abdul Majid                               92111003 ( Penyaji I )
Abdul Wahab                              92111004 ( Anggota)
Adib Mubarok                            92111005 ( Penyaji II )
Ahmad Baedhowi                       92111006 ( Anggota )
A. Beny Akbar Siddiq                92111007 ( Anggota )
Siti Zumrotun                              62111029 ( Sekretaris )




   
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2010



[1] Drs. H. M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1993. hlm. 1
[2] Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid, al-Manar, cet. Kedua, hlm.4.
[3] M. Thahir A. Muin, Ikhtisar Ilmu Tauhid, Kita, Yogyakarta, tanpa tahun, hlm.6.
[5] Drs. H. M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1993. hlm.9.
[6] Abu Bakar Jabir El-Jazairi,  Minhajul  Muslim (Bandung : Remaja Rosdakarya),   1990

Tidak ada komentar:

Posting Komentar