Kamis, 14 April 2011

PEMIKIRAN POLITIK ISLAM PADA ZAMAN KLASIK DAN PERTENGAHAN IBNU ABI RABI’



PEMIKIRAN POLITIK ISLAM PADA ZAMAN KLASIK DAN PERTENGAHAN IBNU ABI RABI’

A.    Sosok Ibnu Abi Rabi’

 Dibawah pemerintahan Abbasiyah dunia ilmu pengetahuan mengalami masa kemasaan, khususnya dalam dua ratus tahun pertama dari lima ratus tahun kekuasaan dinasti itu. Berkat kelonggaran dan bahkan dukungan dari para penguasa waktu itu kegiatan para ilmuwan dari berbagai cabang ilmu amat melonjak. Para ahli bahasa arab dengan penuh gairah menyusun kaidah-kaidah bahasa nahwu dan sharaf.
Sarjana islam pertama yang menuangkan gagasan atau teori politinya dalam suatu karya tulis adalah Syihab Al-Din Ahmad Ibnu Abi Rabi’, yang hidup di Baghdad semasa pemerintahan Mu’tashim, khalifah Abbasiyah kedelapan, putra Harun Rasyid dan yang mengantikan abangnya, makmun. Tidak banyak yang kita ketahui tentang ilmuwan politik islam itu selain sebagai penulis buku yang berjudul suluk Al-Malik fi Tadbir al-Mamalik(perilaku raja dalam pegelolaan kerajaan-kerajaan), yang dipersembahkan kepada mu’tashim, khalifah Abbasiyah kedelapan yang memerintah pada abad IX M. buku itu dimaksudkan agar dipergunakan sebagai manual atau “buku pintar” oleh kepala Negara itu, seperti halnya pada awal abad XVI niecolo Machiavelli menulis buku berjudul II principe(sang pengeran) dan dipersembahkan kepada Lorenzo dimedici, penguasa di Florence, Italia.
Karena buku itu oleh Ibnu Abi Rabi’ ditulis untuk mempersembahkan kepada kepala Negara yang sedang berkuasa dapatlah dipasang bahwa penulis buku itu tidak akan mempertanyakan keabbasiyah sistem monarki turun temurun Abbasiyah, dan sebaliknya bahkan mendukungnya. Sementara itu memang dinasti Abbasiyah semasa pemerintahan mu’tashim masih berada pada puncak kejayaannya. Dalam pendahuluan bukunya Ibnu Abi Rabi’ mengatakan adalah satu kebahagiaan bagi umat pada zaman ini bahwa pemimpin mereka, pengemban kekuasaan politik mereka dan raja mereka adalah seorang yang pada dirinya berkumpul segala kualitas yang baik, tambang dari segala watak luhur dan pengumpul dari segala yang terpuji, panutan mereka, pemimpin dan raja mereka, khalifah Allah bagi hamba-hambanya dan yang berjalan diatas jalan yang khulafa Al- Rasyidin, yang melaksanakan hokum secara benar dan adil, dan yang karena meratanya keadilan dan keamanan maka semua bangsa tunduk kepadanya, semua kerajaan takluk kepadanya”. Juga sesuai dengan judulnya, sebagaian besar dari isi buku itu berupa nasihat-nasihat kepada khalifah tentang bagaimana menangani masalah-masalah kenegaraan, termasuk bagaimana memilih pembantuan dan pejabat Negara, serta hubungan kerja antara khalifah dengan mereka. Tetapi sekalipun demikian dapat pula dilihat alur-alur pemikiran tentang tata negara Ibnu Abi Rabi’.

B.     Pemikiran Ibnu Abi Rabi’ Tentang Asal Mula Tumbuhnya Kota Atau Negara

Sebagaimana Plato, Ibnu Abi Rabi’ berpendapat bahwa manusia, orang-seorang, tidak mungkin dapat mencukupi kebutuhan alaminya sendiri tanpa bantuan yang lain, dan oleh karenanya mereka saling memerlukan. Hal itu mendorong mereka salaing membantu dan berkumpul serta menetap disatu tempat. Dari proses demikianlah maka tumbuh kota-kota. Menurut Ibnu Abi Rabi’, hal-hal yang tidak dapat ditinggalkan dalam hidup manusia, dan untuk mengadakannya memerlukan bantuan pihak lain adalah: pakaian untuk melindungi diri dari gangguan udara panas, udara dingin dan angin: tempat tinggal yang aman terhadap berbagai mara bahaya; reproduksi atau penangkaran yang menjamin kelangsungan eksistensi atau kehadiran umat manusia dibumi ini, dan pelayanan manusia. Jelas manusia orang seorang tidak akan mampu memenuhi kebutuhan akan hal-hal tersebut, karena terampilan dari banyak orang. Plato mengatakan bahwa kebutuhan alami yang terpenting bagi manusia adalah pangan, kemudian tempat tinggal dan pakaian. Kebutuhan akan kerjasama untuk mengadakan segala yang diperlukan bersama itu kan berakibat timbulnya semacam pembagian tugas diantara anggota-anggota masyarakat, dan lahirlah kelompok petani, pekerja bagunan, pemjahit, tukang sepatu dan pandai besi, sesuai dengan bakat dan perhatian masing-masing. Kemudian karena jumlah penduduk makin meningkat, kota dengan batas-batasnya menjadi terlalu sempit, juga lahan pertanian dan wilayah gembalaan ternak memerlukan perluasan, sehingga dapat menimbulkan  bentrokan-bentrokan kepentinga dengan kota-kota yang lain. Maka diperlukan kelompok bersenjata yang terlatih untuk membela kepentingan kota itu terhadap kota-kota tetangga, dan juga seorang kepala yang berwibawa dan mampu menyelesaikan sengketa antara warga-warga kota dan memimpin kotanya menghalau serangan dan ancaman dari luar.

C.    Pengaruh akidah islam

Dari uraian diatas kita bias melihat bahwa pendapat Ibnu Abi Rabi’ tentang asal mula Negara serupa dengan pendapat Plato. Tetapi sebagai seorang Islam dia tidak dapat lepas dari pengaruh akidah agamanya. Dia memasukkan paham ketuhanan dan memperpadukannya dengan teorinya  tentang asal mula Negara. Kalau menurut pemikir-pemikir yunani seperti Plato dan Aritoteles, bahwa fitrah manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup diluar masyarakat, maka Ibnu Abi Rabi’ mengatakan bahwa Allah telah menciptakan manusia dengan watak yang cenderung untuk berkumpul dan bermasyarakat, dan yang tidak mampu memenuhi segala kebutuhan sendiri tanpa bantuan orang lain. Dan apabila berkelompok dan menetap dikota-kota dan hidup bersama, untuk menjamin kerukunan dan keserasian hubungan antara mereka, tuhan meletakkan peraturan-peraturan yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing anggota masyarakat rujukan dan yang harus mereka patuhi. Tuhan pun mengangkat untuk mereka penguasa-penguasa yang melaksanakan peraturan-peraturan itu dan  mempergunakannya guna menjaga tata tertib kehidupan masyarakat dan kebutuhannya, serta untuk mengikis pelanggaran dan penganiayaan antara sesame anggota masyarakat yang dapat merusak keutuhannya. Hal ini berarti bahwa Ibnu Abi Rabi’ sepakat dengan pemikir-pemikir yunani bahwa manusia adaah makhluk sosial, tetapi dia menambahkan tiga butir pengertian: pertama, kecenderungan manusia berkumpul dan bermasyarakat itu watak yang diciptakan oleh tuhan pada manusia; kedua, tuhan telah meletakkan peraturan-peraturan tentang hak dan kewajiban masing-masing anggota masyarakat sebagai rujukan dan harus dipatuhi, dan peraturan-peraturan itu tercantumdalam kitab suci al-qur’an; dan ketiga, Allah juga telah mengangkat penguasa-penguasa yang bertugas menjaga berlakunya peraturan-peraturan rakyat dari tuhan itu dan mengelola masyarakat berdasarkan petunjuk-petunjuk Illahi.



D.    Bentuk pemerintahan

Menurut Ibnu Abi Abi’ setelah lahir sebuah kota atau Negara maka timbul masalah tentang siapa otak pengelola Negara itu, siapa yang memimpinnya, siapa yang mengurus segala permasalahan rakyat. Hal ini disebabkan karena tidak mungkin suatu Negara berdiri sendiri atau dating dari luar. Sebagai mana Plato, Ibnu Abi Rabi’ juga berpendapat bahwa penguasa atau  pemimpin  seharusnya seorang yang mulia dinegara itu. Kemudian dari sekian banyak pemerintahan, ibnu abi rabi’ memilih monarki atau kerajaan dibawah pimpinan seorang raja serta penguasa tunggal, sebagai bentuk pemerintahan yang terbaik. Dia menolak bentuk-bentuk yang lain seperti, Aristrokrasi, Oligarki, Demokrasi, Demagogi. Karena menurut Ibnu Abi Rabi’ bahwa dengan memilih monarki sebagai bentuk pemerintahan yang terbaik adalah keyakinannya bahwa dengan banyak kepala, maka politik Negara akan terus kacau dan sukar membina persatuan. Maka dengandemikian Ibnu Abi Rabi’ mengemukakan enam syarat yang harus dipenuhi atau dimiliki oleh seorang untuk dapat menjadi raja;
1.   Harus anggota dari keluarga raja, dan mempunyai hubungan nasab yang dekat dengan raja sebelumnya.
2.   Aspirasi luhur
3.   Pandangan yang mantap dan kokoh
4.   Ketahanan dalam menghadapi kesukaran/tantangan
5.   Kekayaan yang banyak
6.   Pembantu-pembantu yang setia    
Suatu hal yang cukup menarik, bahwa berbeda dengan kebanyakan pemikir-pemikir islam, dia tidak menjadi keturunan Quraisy sebagai salah satu syarat untuk dapat menduduki jabatan khalifah atau kepala Negara. Menurut Ibnu Abi Rabi’ cukup kalau calon raja itu seorang anggota keluarga dekat dengan raja sebelumnya maka bias menjadi raja mendatang.
Dalam bukunya itu Ibnu Abi Rabi’ juga berbicara dengan cukup rinci tentang perangkat-perangkat pemerintahan seperti jabatan wazir, berbagai kepaniteraan dan peradilan dan keadilan. Tetapi pada umumnya hanya bersifat pengembangan, pemyempurnaan dan reformasi dari apa yang sudah ada sejak lama, bahkan sejak kekuasaan ummayah, seperti peringkatan persyaratan kemampuan para pejabat tinggi, dan nasihat-nasihat, tidak saja kepada kepala Negara, tetapi juga kepala para pembanu utamanya, serta tenatng bagaimana seharusnya melaksanakan tugas mereka masing-masing.

1 komentar: