Kamis, 14 April 2011

MASUKNYA ISLAM DI JAWA DAN PENGARUHNYA _abdul.com


MASUKNYA ISLAM DI JAWA DAN PENGARUHNYA


I.       PENDAHULUAN
Sejak zaman prasejarah penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar handal yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal abad Masehi sudah ada rute-rute pelayaran dan perdagangan antar kepulauan Indonesia dengan daerah di daratan Asia Tenggara. Wilayah barat Nusantara dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama karena hasil yang dijual disana menarik para pedagang dan menjadi lintasan penting antara Cina dan India.[1]
Sampai pada abad 1 H atau 7 M, Islam mulai dibawa para pedagang Arab melalui pesisir utara Sumatera secara damai dengan membawa kecerdasan dan ketinggian peradaban. Pada perkembangannya orang-orang pribumi ikut andil dalam penyebaran Islam di Nusantara.
Masuknya Islam kedaerah-daerah di Indonesia tidak dalam waktu bersamaan. Pada abad ke-7 sampai ke-10 M. Kerajaan Sriwijaya meluaskan kekuasaannya sampai kemalaka dan kedah.[2] Hingga sampai akhir abad ke-12 perekonomian sriwijaya mulai melemah. Keadaan seperti ini dimanfaatkan malaka untuk melepaskan diri dari sriwijaya hingga beberapa abad kemudian Islam masuk keberbagai wilayah Nusantara dan pada abad ke-11 Islam sudah masuk di pulau jawa.[3]
II.    RUMUSAN MASALAH
A.    Awal Datangnya Islam Di Jawa.
B.     Teori Masuknya Islam Di Jawa
C.    Bukti Pertama Islam Di Jawa.
D.    Saluran Islam Di Jawa.
E.     Tokoh dan Peran Walisongo Dalam Penyebaran Dan Perkembangan Islam Di Pulau Jawa.



III.  PEMBAHASAN
A.    Awal Datangnya Islam Di Jawa.
Kebanyakan pedagang muslim di kerala yang berasal dari teluk Persia mereka menganut madzhab Syafi’i. Sedang Kerala sendiri berfungsi sebagai persinggahan para pedagang Sumatera, melayu, dan cina. Kekuatan hubungan dagang dan hukum ini menunjukkan Kerala merupakan salah satu sumber islamisasi di Jawa dan bagian Indonesia. Kesamaan arsitektur masjid kian memperkokoh posisi. di Kerala banyak masjid yang terbuat dari kayu dan bata merah mempunyai atap bersusun tiga. Masjid Agung Demak sebagai masjid tertua di Jawa memiliki pola ini. Organisasi keagamaan masyarakat Kerala dan santri Jawa tradisional sangat mirip yaitu berorientasi pada ulama. Keadaan ini terjadi sekitar abad ke-13, yaitu ketika kota baghdad hancur digempur oleh pasukan Tartar dan Mongol, jalan lintas perdagangan antar Barat dan Timur beralih ke Gujarat. Demikian juga kapal dagang masyarakat Indonesia berduyun-duyun berlabuh di kota Gujarat. Dengan hubungan dagang ini banyak masyarakat kecil masuk agama islam seperti para anak kapal (juragan dan kelasinya). Pemusatannya di daerah pelabuhan seperti jepara, tuban serta gresik yang sejak prabu erlangga bertahta (1019-1041M). Telah dibuka hubungan dagang dengan bangsa asing.
 Melihat makam-makam muslim yang ada di Gresik yaitu makam wanita muslim Fatimah binti Maimun, nisan yang berangka tahun 475 H. (1082 M) serta makam ulama persia Malik Ibrahim, nisan yang berangka tahun 882 H. (1419 M) menjadi tanda bukti bahwa waktu itu rakyat jelata Gresik banyak menganut agama Islam. Jadi pada waktu zaman Prabu Kertawijaya (1447 M) para bangsawan  dan punggawa telah ada yang menganut agama Islam. Ini dikarenakan berita tentang kejayaan agama Islam di wilayah timur, di Persia, Afganistan, Pakistan di India sungai gangga sampai Benggala. Ditanah Aceh dan Malaka dapat tersebar dengan cepat di Kota pelabuhan Jawa. Keadaan yang demikian merupakan sumbangan moral dan kebanggaan dalam hati rakyat Majapahit yang sedang rapuh karena gila jabatan. Apalagi islam progresif terhadap agama hindu saat itu.

B.     Teori Masuknya Islam Di Jawa
a)      Teori Gujarat
Teori ini berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad 13 dan pembawanya berasal dari Gujarat (Cambay), India. Dasar dari teori ini adalah:
a.       Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia.
b.       Hubungan dagang Indonesia dengan India telah lama melalui jalur Indonesia – Cambay – Timur Tengah – Eropa.
c.        Adanya batu nisan Sultan Samudra Pasai yaitu Malik Al Saleh tahun 1297 yang bercorak khas Gujarat.
Teori bahwa Islam datang di Nusantara datang dari India pertama kali dikemukakan oleh Pijnapel tahun 1872. berdasarkan terjemahan prancis tentang catatan perjalanan Suleiman, Marco Polo dan Ibnu Batuta, ia menyimpulkan bahwa orang-orang Arab yang bermazhab Syafi’i dari Gujarat dan Malabar di India yang membawa Islam ke Asia Tenggara. Dia mendukung teori ini dengan menyatakan bahwa melalui perdagangan, amat memungkinkan terselenggaranya hubungan antara kedua wilayah ini, ditambah lagi dengan umumnya istilah-istilah Persia yang dibawa dari India digunakan dalam bahasa masyarakat kota-kota pelabuhan Nusantara. Teori ini lebih lanjut dikembangkan dan dipopulerkan Snouck Hurgronje yang menunjuk Dakka di India Selatan sebagai pembawa Islam di Nusantara, kemudian Marrison yang menyebut Kromondel sebagai pelabuhan tempat bertolaknya para pedagang muslim dalam pelayaran mereka menuju Nusantara.
Teori tentang islam di bawa oleh para pedagang dari India (meskipun sudah ”terkontaminasi” dengan Arab) bisa dimaklumi mengingat India sudah mengenal Jawa sejak dahulu jauh sebelum abad ke-15 ketika keislaman mulai mendapatkan bentuk dikawasan ini. Itupun hanya didasarkan pada asumsi yang masih spekulatif. Sebab jika India yang diadikan pegangan dengan mengambil dasar praktis sufisme yang berlaku di Nusantara, maka di sini perlu ditandai bahwa sufisme tidak menjadi ”merk dagang” para perdagang India saja, melainkan sudah menjadi ajaran universal yang dipraktikan kaum Mislimin di berbagai belahan dunia Islam. Selain tidak ada bukti-bukti pendukung berupa kebudayaan material yang bisa memperkuat argumentasi ini. Kalaupun ada unsur India dalam kontruksi bangunan masjid kuno di Jawa, itu pun India yang Hindu bukan islam.
b)       Teori Mekkah
Teori ini merupakan teori baru yang muncul sebagai sanggahan terhadap teori lama yaitu teori Gujarat. Teori ini di kemukakan oleh Crawfurd (1820), Keyzer (1859), Niemann (1861), de Hollander (1861) dan Verth (1878).  
Teori Makkah berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 dan pembawanya berasal dari Arab (Mesir).
Dasar teori ini adalah:
·         Pada abad ke 7 yaitu tahun 674 di pantai barat Sumatera sudah terdapat perkampungan Islam (Arab); dengan pertimbangan bahwa pedagang Arab sudah mendirikan perkampungan di Kanton sejak abad ke-4. Hal ini juga sesuai dengan berita Cina.
·         Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafi’i, dimana pengaruh mazhab Syafi’i terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Mekkah. Sedangkan Gujarat/India adalah penganut mazhab Hanafi.
Raja-raja Samudra Pasai menggunakan gelar Al malik, yaitu gelar tersebut berasal dari Mesir.
Pendukung teori Makkah ini adalah Hamka, Van Leur dan T.W. Arnold. Para ahli yang mendukung teori ini menyatakan bahwa abad 13 sudah berdiri kekuasaan politik Islam, jadi masuknya ke Indonesia terjadi jauh sebelumnya yaitu abad ke 7 dan yang berperan besar terhadap proses penyebarannya adalah bangsa Arab sendiri..
c)      Teori Persia
Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad 13 dan pembawanya berasal dari Persia (Iran). Dasar teori ini adalah kesamaan budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam Indonesia seperti:
·         Peringatan 10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya Hasan dan Husein cucu Nabi Muhammad, yang sangat di junjung oleh orang Syiah/Islam Iran. Di Sumatra Barat peringatan tersebut disebut dengan upacara Tabuik/Tabut. Sedangkan di pulau Jawa ditandai dengan pembuatan bubur Syuro.
·         Kesamaan ajaran Sufi yang dianut Syaikh Siti Jennar dengan sufi dari Iran yaitu Al – Hallaj.
·         Penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab untuk tanda-tanda bunyi Harakat.
·         Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik.
Adanya perkampungan Leren/Leran di Giri daerah Gresik. Leren adalah nama salah satu Pendukung teori ini yaitu Umar Amir Husen dan P.A. Hussein Jayadiningrat.
d)     Teori Cina
Sejauh ini, perbincangan mengenai sejarah masuknya Islam ke Indonesia masih didominasi dua teori yang sudah klasik dan klise, serta disinyalir penulis buku ini mengandung penanaman ideologi otentisitas. Bias ideologi otentisitas itu kira-kira menyatakan, kalau Islam yang datang ke Nusantara bukan berasal dari tanah Arab atau Timur Tengah, maka nilai kesahihan dan ke-afdhal-annya akan dipertanyakan. Makanya, teori pertama tentang datangnya Islam di Nusantara menyatakan bahwa Islam dibawa ke Nusantara oleh para pedagang yang berasal dari Arab/Timur Tengah. Teori ini dikenal sebagai teori Arab, dan dipegang oleh Crawfurd, Niemann, de Holander. Bahkan Fazlur Rahman juga mengikuti mazhab ini (Rahman: 1968). Kedua adalah teori India. Teori ini menyatakan bahwa Islam yang datang ke Nusantara berasal dari India. Pelopor mazhab ini adalah Pijnapel yang kemudian diteliti lebih lanjut oleh Snouck, Fatimi, Vlekke, Gonda, dan Schrieke (Drewes: 1985; Azra: 1999).
Terlepas dari dua teori di atas, para sejarahwan umumnya melupakan satu komunitas yang juga memberikan kontribusi cukup besar atas berkembangnya Islam di Nusantara, khususnya Jawa. Mereka adalah komunitas Cina-muslim. Meskipun selama ini terdapat beberapa kajian tentang muslim Cina di Jawa, tapi uraiannya sangat terbatas, partikular dan spesifik (hanya menyakup aspek-aspek tertentu saja) di samping sumber-sumber yang dipakai untuk merekonstruksi sejarah juga masih terbatas. Makanya, sampai kini bisa dikatakan, belum ada satu karya ilmiah yang membahas secara ekstensif mengenai kontribusi muslim Cina di Indonesia.
Padahal, eksistensi Cina-muslim pada awal perkembangan Islam di Jawa tidak hanya ditunjukkan oleh kesaksian-kesaksian para pengelana asing, sumber-sumber Cina, teks lokal Jawa maupun tradisi lisan saja, melainkan juga dibuktikan berbagai peninggalan purbakala Islam di Jawa. Ini mengisaratkan adanya Pengaruh Cina yang cukup kuat, sehingga menimbulkan dugaan bahwa pada bentangan abad ke-15/16 telah terjalin apa yang disebut Sino-Javanese Muslim Culture. Ukiran padas di masjid kuno Mantingan-Jepara, menara masjid pecinaan Banten, konstruksi pintu makam Sunan Giri di Gresik, arsitektur keraton Cirebon beserta taman Sunyaragi, konstruksi masjid Demak --terutama soko tatal penyangga masjid beserta lambang kura-kura, konstruksi masjid Sekayu di Semarang dan sebagainya, semuanya menunjukkan pengaruh budaya Cina yang cukup kuat. Bukti lain dapat ditambah dari dua bangunan masjid yang berdiri megah di Jakarta, yakni masjid Kali Angke yang dihubungkan dengan Gouw Tjay dan Masjid Kebun Jeruk yang didirikan oleh Tamien Dosol Seeng dan Nyonya Cai.
Padahal dari berbagai sumber yang berserakan ditambah kesaksian-kesaksian awal para pengembara asing dan tradisi lisan yang berkembang secara turun temurun di masyarakat berbasis Islam serta di dukung fakta adanya Sino-Javanese Muslim Culture sebenarnya masyarakat Cina Islam telah menunjukkan eksistensinya jauh sebelum VOC pada awal abad ke-17 menguasai Jawa. Mereka pada umumnya mula-mula menduduki kawasan pesisir utara di kota-kota pelabuhan di Jawa. Ini sesuai dengan teori Johns (1975) yang menyatakan bahwa perkembangan Islam di Jawa bermula dari kota-kota pelabuhan. Komunitas Cina Islam in sambil berdagang kemudian mengembangkan praktek “sufisme kota” (urban sufism) yang rasionalistik dalam kehidupan beragama. Salah satu bentuk tasawuf falsafi. Ajakan sufisme dengan segala pemahaman dan penafsiran mistisnya terhadap Islam dalam banyak hal memang cocok dengan latar belakang masyarakat Jawa yang dipengaruhi asketisme Hindu-Budha dan sinkretisme kepercayaan lokal. Dari kota-kota pelabuhan inilah, Islam kemudian melaju dan terus melaju ke berbagai wilayah Jawa di bawah otoritas politik kekuasaan sultan dan kharisma tradisional kiai (ulama)
Atas dasar rekonstruksi kesejarahan di atas, bukanlah sebuah “pemaksaan ide” jika dikatakan bahwa komunitas Cina telah ikut andil bagian dalam proses sejarah Islamisasi di Jawa. Dengan  demikian patut untuk diajukan “teori cina” dalam sejarah masuk dan berkembangnya agama Islam ke jawa. Ini bukanlah “rekonstruksi baku” karena memang sejarah tidak bisa “dibakukan” meski dapat “dibukukan” [4]
C.    Bukti Pertama Islam Di Jawa.
Masuknya islam di Jawa dapat diketahui dengan beberapa bukti dalam bentuk artefak yaitu :
1.      Makam
Bukti sejarah yang paling faktual adalah ditemukannya batu nisan kubur Fatimah binti Maimun di Leran Gresik, dan batu nisan itu merupakan bukti yang konkret bagi kedatangan islam di Jawa.[5]
Sementara Ricklefts dalam uraiannya mengatakan bahwa serangkaian batu nisan yang sangat penting yang ditemukan di kuburan jawa Timur yaitu di Trowulan dan Troloyo, di dekat situs istana Majapahit yang bersifat hindu budha. Batu-batu itu menunjukan makam-makam orang muslim, tetapi lebih banyak menggunakan angka tahun saka India dengan angka-angka jawa kuno daripada tahun Hijriyah Islam dengan angka-angka arab. Berdasarkan rumitnya hiasan yang terdapat pada beberapa batu nisan dan lokasinya yang dekat dengan situs ibukota Majapahit, maka dapat disimpulkan bahwa batu-batu nisan itu menandai kuburan-kuburan orang jawa yang terhormat, bahkan ada kemungkinan anggota keluarga raja. Oleh karena itu, batu-batu jawa timur tersebut memberi kesan bahwa orang-orang anggota kaum elit jawa memeluk islam pada masa kerajaan majapahit yang beragama hindu budha sedang berada di puncak kejayaannya. Selain itu, batu-batu nisan tersebut merupakan bukti paling kuno yang masih ada tentang penduduk jawa yang beragama islam.[6]
2.      Masjid
Masjid di Jawa pada garis besarnya dapat dilihat dari corak arsitekturnya seperti beratap tumpang, berdenah persegi, berukuran relatif besar, terdiri atas ruang utama pawestren-serambi, mempunyai ruang mihrab, ada tempat mengambil air wudhu, ada kolam di depan serambi, dan mempunyai pagar keliling. Selain itu di dalam bangunan masjid terdapat beberapa kelengkapan tergantung pada jenis masjidnya, antara lain : mimbar, maqsuro, bedug, kentongan. Tentang menara, masjid kuno di jawa justru tidak memilikinya. Masjid-masjid di jawa tidak banyak mempunyai ornamentasi kecuali  pada mimbarnya.
3.      Ragam Hias
Dengan diterimanya agama islam sebagai penuntun hidup yang baru di Jawa, lahirlah beberapa ragam hias baru seperti kaligrafi dan setiliran. Prasasti berhuruf arab pada makam fatimah binti Maimun yang jauh lebih tua menampakan segi keindahannya, dan dapat digolongkan dalam huruf Arab gaya Kufi.[7]
Selain munculnya ornamentasi dengan menggunakan huruf-huruf arab, muncul pula ragam hias baru, yaitu siliran atau penggayaan terhadap ragam hias binatang.
4.      Tata Kota
Dalam masa Islam di Jawa muncul kota-kota baru di wilayah pantai dan pedalaman seperti Demak, Cirebon, Banten, Pajang, dan Kota Gede. Dari data arkeologi yang terkumpul dapat diketahui komponen utama kota-kota tersebut yaitu keraton, alun-alun, masjid agung, pasar, pemukiman penduduk, pemakaman serta sarana pertahanan keamanan. Semuanya di atur dalam tata ruang tertentu yang secara garis besar menunjukan kesamaan.[8]
D.    Saluran Islam Di Jawa.
1.      Melalui Pedagang muslim dari Arab, Persia, dan India
Ini menjadikan petinggi Majapahit, pemilik kapal, dan banyak bupati masuk Islam. Namun karena faktor hubungan ekonomi dengan pedagang muslim dan perkembangan selanjutnya mereka mengambil perdagangan dan kekuasaan di tempat tinggalnya.
2.      Saluran tasawuf
Tawasuf yang diajarkan mempunyai persamaan dengan aliran pikiran penduduk pribumi yang sebelumnya menganut agama hindu seperti yang dilakukan Sunan Bonang.
3.      Saluran pendidikan
Ini dilakukan baik melalui pesantren maupun pondok yang diselenggarakan guru-guru agama dan ulama-ulama serta kyai-kyai.
4.      Saluran politik
Di Jawa demi menambah orang-orang yang memeluk agama Islam, banyak kerajaan islam yang memerangi kerajaan Hindu Budha seperti yang dilakukan kerajaan demak.
5.      Saluran kesenian
Saluran yang paling terkenal adalah kesenian wayang. Sebagian di ambil dari Mahabarata dan Ramayana karena wayang sangat kuat pengaruhnya dalam kehidupan rakyat jawa. Karena didalamnya terdapat unsur hiburan dan tuntunan, dan ini juga diperlihatkan orang jawa meniati untuk menyediakan tempat khusus untuk pagelaran jawa.[9]
6.      Saluran pernikahan
Jika pedagang luar cukup lama tinggal di suatu temapt sering terjadi hubungan perkawinan antara orang asing yang dihormati serta berguna itu dengan puteri atau saudara perempuan setempat. Hukum perkawinan islam memungkinkan untuk itu.
E.     Tokoh dan Peran Walisongo Dalam Penyebaran Dan Perkembangan Islam Di Pulau Jawa
1.      Syekh Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik)
Syekh Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) datang ke Jawa pada tahun 1404 M. Jauh sebelum beliau datang Islam sudah ada walaupun sedikit ini dibuktikan dengan makam Fatimah binti Maemun yang nisannya bertuliskan tahun 1082 M.
Agama dan istiadat tidak langsung ditentangnya dengan frontal dan penuh kekerasan oleh agama Islam. Beliau langsung memperkenalkan kemuliaan dan ketinggian akhlak yang diajarkan oleh agama Islam. Beliau langsung memberi contoh sendiri dalam bermasyarakat, tutur bahasanya sopan, lemah lembut, santun kepada fakir miskin, hormat kepada orang tua dan menyayangi yang muda. Dengan cara seperti ini ternyata sedikit demi sedikit banyak juga orang Jawa yang mulai tertarik pada agama islam dan pada akhirnya mereka menganut agama islam.
Beliau berdakwah di Gresik, dan untuk mempersiapkan kader umat yang nantinya dapat menyebarkan Islam, beliau mendirikan pesantren yang merupakan perguruan Islam, tempat mendidik dan menggembleng para santri sebagai calon mubaligh.
2.      Raden Rahmat (Sunan Ampel)
Raden rahmat ke tanah Jawa langsung ke Majapahit karena bibinya Dewi Dar Wati diperistri Raja Brawijaya, dan istri yang paling disukainya. Beliau berhenti di Tuban, di tempat itu beliau berkenalan dengan dua tokoh masyarakat yaitu Ki Wiryo Sarojo dan Ki Bang Kuning, yang kemudian bersama kedua orang bersama keluarganya masuk islam. Dengan adanya dua oran ini Raden Rahmat semakin mudah mengadakan pendekatan dengan masyarakat sekitarnya. Beliau menetap di Ampel Denta dan kemudian disebut Sunan Ampel. Selanjutnya beliau mendirikan pesant ren tempat putra bangsawanan dan pangeran Majaphit serta siapa saja yang mau berguru kepadanya. . Dia-lah yang mengenalkan istilah "Mo Limo" (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk "tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina." Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.
3.      Syekh Maulana Ishak (Sunan Giri)
Di awal abad ke-14 kerajaan Blambang sedang dilanda wabah penyakit, dan putri prabu juga terserang penyakit beberapa bulan. Banyak tabib yang mengobati tapi tidak juga sembuh.lalu prabu Menak mengutus patih Bajul Senggoro ke gunung Gresik.Patih Bajul dapat bertemu dengan Syekh Maulana Ishak (Sunan Giri) yang sedang bertafakkur di sebuah gua. Setelah terjadi negosiasasi bahwa raja dan rakyat mau diajak masuk Islam maka syeh Maulana Ishak bersedia datang ke Blambangan. Akhirnya puteri Dewi Sekardadu sembuh setelah di obati beliau dan wabah penyakit lenyap dari wilayah Blambangan. Sesuai janji sunan Giri dikawinkan dengan puteri dewi Sekardadu dan diberi kekuasaan sebagai Adipati Blambangan. Setelah banyak sekali orang yang berobat dan belajar agama Islam, beliau pindah ke Singapura dan wafat disitu.
4.      Sunan Bonang
Nama aslinya adalah Raden Makdum Ibrahim. Beliau putera Sunan Ampel. Sunan Bonang terkenal sebagai ahli ilmu kalam dan tauhid.
Sekembali dari Persia untuk berguru kepada Syekh Maulana Ishak ke tanah Jawa, beliau berdakwah di daerah Tuban. Caranya berdakwah cukup unik dan bijaksana, beliau menciptakan gending dan tembang yang disukai rakyat. Dan beliau ahli dalam membunyikan gending yang disebut Bonang, sehingga rakyat Tuban dapat diambil hatinya untuk masuk masjid.
Beliau membunyikan bonang rakyat yang mendengar seperti terhipnotis terus melangkah ke masjid karena ingin mendengar langsung dari dekat. Dengan cara ini sedikit demi sedikit dapat merebut simpati rakyat, lalu baru menanamkan pengertian sebenarnya tentang islam. Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan transedental (alam malakut). Tembang "Tombo Ati" adalah salah satu karya Sunan Bonang.
5.      Sunan Drajat
Nama aslinya Raden Qasim, beliau adalah putera Sunan Ampel dari Dewi Candra Wati. Beliau berdakwah di daerah Drajad sehingga dikenal dengan nama Sunan Drajad. Cara menyebarkan agama islam dilakukan dengan cara menabuh seperangkat gamelan, gending dan tembang macapat setelah itu baru diberi ceramah Islam. Dan beliau mendirikan pesantren untuk menyiarkan islam. Di antara ajaran beliau yang terkenal adalah :
Menehono teken marang wong wuro (berilah tongkat pada si buta)
Menehono mangan marang wong kang luwe (beri makan pada yang
lapar)
Menehono busono marang wong kang mudo (beri pakaian pada yang telanjang)
Menehono nginyup marang wong kang kudanan (berilah pertolongan pada yang membutuhkan)
 Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara anak-anak
yatim-piatu dan fakir miskin. Beliau wafat pada tahun 1462 M, dan dimakamkan di desa Drajad Kecamatan Paciran kabupaten Lamongan.
6.      Sunan Kali Jaga
Nama aslinya adalah Raden Sahid, beliau Putera Raden Sahur Putera Temanggung Wilatikta Adipati Tuban.
Raden Sahid sebenarnya anak muda yang patuh dan kuat kepada agama dan orang tua, tapi tidak bisa menerima keadaan sekelilingnya yang terjadi banyak ketimpangan, hingga dia mencari makanan dari gudang kadipaten dan dibagikan kepada rakyatnya. Tapi ketahuan ayahnya, hingga dihukum yaitu tangannya dicambuk 100 kali sampai banyak mengeluarkan darah dan kemudian diusir.
Setelah itu  beliau mengembara dan bertemu dengan Sunan Bonang, lalu Raden Sahid di angkat menjadi murid, lalu disuruhnya menunggui tongkatnya di depan kali sampai berbulan-bulan sampai seluruh tubuhnya berlumut. Maka Raden Sahid disebut Sunan Kali Jaga.
Beliau dikenal sebagai seorang yang dapat bergaul dengan segala lapisan masyarakat. Beliau adalah mubaligh keliling. Dengan memanfaatkan kesenian rakyat yang ada beliau dapat mengumpulkan rakyat untuk kemudian diajak mengenal agama islam. Beliau adalah penabuh gamelan, dalang, menciptakan tembang yang ahli. Kesemuanya itu untuk kepentingan dakwah dan beliau tidak secara langsung menentang adat istiadat rakyat, agar mereka tidak lari dari Islam dan enggan mempelajari Islam. Diantara tembang yang dikarang oleh sunan Kali Jaga adalah Sluku-sluku Batok dan Ilir-ilir.
7.      Sunan Kudus
Menurut salah satu sumber beliau adalah putera Raden Usman yang bergelar Sunan Ngudang dari Jipang Panolan. Nama aslinya Raden Ja’far Shadiq. Cara-cara berdakwah beliau adalah sebagai berikut :
1.      Membiarkan adat istiadat lama yang sulit diubah.
2.      Menghindarkan konfrontasi secara langsung dalam menyiarkan agama Islam.
3.      Tut Wuri Handayani.
4.      Merangkul masyarakat Hindu seperti larangan menyembelih sapi karena dalam agama Hindu sapi adalah binatang suci dan keramat.
5.      Merangkul masyarakat Budha, Setelah masjid, kemudian Sunan Kudus mendirikan padasan tempat wudhu dengan pancuran yang berjumlah delapan. Di atas pancuran diberi arca kepala Kebo Gumarang, hal ini disesuaikan dengan ajaran Budha ”Jalan berlipat delapan atau asta sunghika marga”.
6.      Selamatan Mitoni
8.      Sunan Muria
Beliau adalah putera dari Sunan Kali Jaga dengan Dewi Saroh. Nama aslinya Raden Umar Said, dalam berdakwah ia seperti ayahnya yaitu menggunakan cara halus, ibarat mengambil ikan tidak sampai keruh airnya. Itulah cara yang digunakannya di sekitar gunung Muria dalam menyebarkan agama islam. Sasaran dakwah beliau adalah para pedagang, nelayan dan rakyat jelata. Beliau adalah satu-satunya wali yang mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah dan beliau pulalah yang menciptakan tembang Sinom. Beliau banyak mengisi tradisi jawa dengan nuansa islami seperti nelung dino, mitung dino, nyatus dino dan sebagainya.
9.      Sunan Gunung Jati
Orang sepakat bahwa penyebar agama Islam di Jawa Barat terutama Cirebon adalah Sunan Gunung Jati yang aslinya adalah Syarif Hidayatullah. Setelah selesai menuntut ilmu pada tahun 1470 M. Dia berangkat ke tanah jawa untuk mengamalkan ilmunya. Disana beliau bersama ibunya disambut gembira oleh Pangeran Cakra Buana. Syarifah Mudain minta agar diizinkan tinggal di Pasumbangan Gunung Jati dan disana mereka membangun pesantren untuk meneruskan usahanya Syekh Datuk Latif gurunya pangeran Cakra Buana. Oleh karena itu Syarif Hidayartullah dipanggil Sunan Gunung Jati. Lalu ia dikawinkan dengan puteri cakara Buana Nyi Pakung Wati kemudian diangkat menjadi pangeran Cakra Buana pada tahun 1979 M. Dengan diangkatnya ia sebagai pangeran, dakwah Islam dilakukannya melalui diplomasi dengan kerajaan lain.[10]
IV. KESIMPULAN
Pada umumnya kedatangan Islam dan cara menyebarkan kepada golongan bangsawan dan rakyat umumnya, ialah dengan cara damai, melalui perdagangan dan dakwah oleh muballigh-muballigh atau orang-orang alim. Dan salah satu masuknya Islam di Jawa dapat diketahui dengan beberapa bukti dalam bentuk artefak yaitu : Makam, Masjid, Ragam Hias, Tata Kota. dan dilihat dari Saluran Islam Di Jawa yaitu meliputi: Melalui Pedagang muslim dari Arab, Persia dan India, Saluran tasawuf, Saluran pendidikan, Saluran kesenian, Saluran pernikahan, Saluran politik. Kemudian dilihat dari Para wali / ulama yang dikenal dengan sebutan walisongo di Pulau Jawa terdiri dari :
V.    PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. Apabila ada kesalahan dari segi isi maupun dalam penulisan, itu merupakan kelemahan serta kekurangan kami sebagai insan biasa







DAFTAR PUSTAKA
Al Kutuby, Sumanto, Arus Cina-Islam-Jawa, jogjakarta: Inspeal Ahimsakarya Press, 2003.
G.F Pijper, Beberapa Studi tentang Sejarah Islam Di Indonesia 1900-1950, Tudjimah, Jakarta : UI Press, 1985.
Hasmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Bandung, tanpa tahun.
Poesponegoro, Marwati djoened, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid III, Depdikbud, Balai Pustaka, 1993.
Ricklefts, M.C,  Sejarah Indonesia Modern.Terj. Drs. Darmono Hardjowijono, Yogyakarta : Gajah Mada University Press, cet.3,1993.
Romli , Inajati, Islam dan Kebudayaan Jawa, suatu kajian Arkeologi, Makalah dari yayasan Javanologi, Yogyakarta tanpa tahun.
Sujatmo, Wayang dan Budaya Jawa, Semarang : Dahara Prize, 1989.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Grafindo Persada,1994.
.





[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,( Jakarta: Grafindo Persada,1994), hlm 191.
[2] Hasmy, Sejarah Masuk dan Berrkembangnya Islam di Indonesia, Bandung, tanpa tahun
[3] Badri Yatim, Op Cit, hlm. 194.
[4] . Sumanto Al Kutuby, Arus Cina-Islam-Jawa, (jogjakarta: Inspeal Ahimsakarya Press, 2003), hlm.221-227.
[5] Sartono Kartodirjo dkk, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid III, Depdikbud, 1975, hlm 89.
[6] M.C Ricklefts, Sejarah Indonesia Modern.Terj. Drs. Darmono Hardjowijono, Gajah Mada University Press, cet.3, Yogyakarta, 1993, hlm 5.
[7] G.F Pijper, Beberapa Studi tentang Sejarah Islam Di Indonesia 1900-1950, Tudjimah, UI Press, 1985, hlm 16.
[8] Ibid
[9] Sujatmo, Wayang dan Budaya Jawa, Dahara Prize Semarang, 1989, hlm 18-19.
[10] Asnan Wahyudi dan Abu Khalid, Kisah Walisongo, (Surabaya: Karya Ilmu,t.th.,), hlm 11-140.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar