Kamis, 14 April 2011

KETERPAKUAN FIQIH_abdul.com

KETERPAKUAN FIQIH

I.       PENDAHULUAN
   Ditengah-tengah pesatnya perhatian ulama terhadap fiqih dan munculnya kajian-kajian fiqih dimana-mana, pada awal tahun 300-an H. mulai terjadi pemasungan terhadap kebebasan pendapat. Khalifah al-makun, al-mu’tasim dan al-watsiq, misalnya, sebagaimana telah dibicarakan dalam pembahasan terdahul, berusaha keras memaksakan idoelogi mu’tazilah kepada para ulama. Mereka secara terang-terangan menampakkan dukungannya terhadap ideology mu’tazilah, padahal para ulama dan fuqaha berada diluar itu, dan bahkan  mereka mengencam al-makmun atas dukungannya terhadap mu’tazilah.
Seiring dengan pemasugan terhadap kebebasan berpendapat itu terjadilah pro-kontra terhadap sikap pemerintahan daulah abbasiyah. Beberapa kecenderungan pemahaman fiqih yang mendominasi daerah-daerah tertentu melakukan“pembelaan”terhadap mahzabnya. Karena itulah pro-kontra itu dengan sendirinya menimbulkan fanatisme(ta’sshub)terhadap kelompok-kelompok tertentu. Ditambah lagi kondisi sosial politik yang mulai tidak menentu. pada pertengahan abad keempat hijriah, pemerintah daulah abbasiyah terpecah  menjadi Negara-negara kecil yang mempunyai otonomi sendiri yang saling bersaing dan saling berperang hingga jatuhnya Baghdad. Ibu kota daulah abbasiyah, ketangan hulagu, panglima tartar pada tahun 656 H.
Persoalanya lalu berkembang sedemikian rupa hingga fuqaha memandang pendapat-pendapat para imam mahzab sebagai nash-nash yang tidak dapat diubah, digugat dan diganti.

II.    RUMUSAN MASALAH
A.    Tertutupnya pintu ijtihad?
B.      Fiqih dan tasawuf?

III.  PEMBAHASAN
A.     Tertutupnya Pintu Ijtihad.
 Dalam waktu yang bersamaan  kegiatan-kegiatan dalam bidang fiqh ditangani oleh orang-orang yang semata-mata hanya mengincar jabatan hakim, tanpa keahlian ilmiah yang memadai. Mereka mencukupkan diri dengan menhafal hukum-hukum mahzab yang menjadi pedoman pengadilan. Tanpa harus berfikir dan berijtihad atau melakukan pembaharuan dibidang hokum. Mereka cukup menerapkan sepenuhmya hokum-hukum yang dihasilkan para imamnya tanpa melakukan apapun. Tidak mengherankan jika para ahli fiqh seperti itu mudah sekali terbawa arus penguasa dan meneggang maksud-maksud mereka, Meskipun untuk itu harus mengorbankan kepentingan-kepentingan fiqh dan hukum-hukum syara’.
Wajar sekali jika dalam kondisi seperti banyak dijumpai orang-orang yang tidak mengerti hukum islam dan tidak memiliki keahlian dalam bidang hukum namun mereka berani memberikan fatwa-fatwa dan memutuskan hukum. Akibatnya jabatan pemberi fatwa dipangku oleh orang-orang yang justru membelokkan tujuan fatwa itu sendiri. Hilanhnya amanat ilmiah ini, pada sisi lain, mengakibatkan keterpakuan tekstual . periwayatan pendapat-pendapat para imam tanpa melalui verifikasi ilimiah yang memadai sehingga menimbulkan keanekaragaman pendapat imam dalam satu persoalan. Buruknya keadaan fiqh yang sedemikian rupa itu menjadipertimbangan para fuqaha dan ulama untuk sepakat mengeluarkan fatwa bahwa pintu ijtuhad tertutup.
Meskipun keputusan tersebut diatas disatu sisi membawa manfaat, namun sebenarnya disisi lain justru membawa suatu bencana. Satu hal yang tidak dapat dihindari adalah taqlid tambah mengakar, ia dijadikan landasan hukum dan fatwa. Keadaan itu juga memaksa para ulama dan fuqaha untuk mengambil pendapat para imam masa lalu secara penuh,terutama para imam mahzab. Mereka lupa meninjau perbedaan zaman dan keadaan masyarakat serta persoalan yang dihadapi adalah wajar pula jika ikrar tertutupnya pintu ijtihad pada akhirnya mengakibatkan semakin beku dan statisnya fiqih.

B.     Fiqih Dan Tasawuf.
 Seiring dengan terjadinya kejumudan dan kemandegan pemikiran fiqh, kita juga menyaksian kebangkitan tasawuf. Meskipun belum ada penelitian mendalam tentang sejauh mana keterkaitan antara kemandegan fiqh dan kebangkitan tasawuf namun bila dilihat  dari konteks sejarahan perkembangannya yang begitu pesat disaat kemunduran melanda dalam dunia fiqh, kita diajak untuk sampai pada asumsi bahwa kebangkitan tasawuf ada kaitannya dengan mulai mengecilnya perhatian ulama terhadap fiqh dan permasalahannya.
Pengaruh kemandegan fiqh dalam dunia tasawuf terletak pada peralihan perhatian ulama dan fuqaha yang begitu besar. Dunia fiqh menjadi terabaikan dari dinamika dan perkembangan, paling tidak, dibandingkan tasawuf. Ini tidak sekedar dijadikan dalih”kekalahan” dunia fiqh, melainkan dalam sisi lain seiring dipahami sebagai” pengesahan” kebenaran jalan orang-orang sufi. Apalagi saat itu berada doktrin mengenai tahapan-tahapan (makamat)kesadaran moral seperti syariaat, makrifat dan hakikat. Syariat adalahtahapan yang paling rendah dari serangkaian“jalan sepiritual”menuju tuhan. Diatas syariat ada makrifat dan hakikat yang dari makamat ini kemudian dirinci sebuah teori”keadaan-keadaan” (ahwal)yang bersifat-genostik yang dilalui oleh seorang sufi. Dalam pandangan ini, kerja fuqaha, adalah kerja paling rendah karena hanya berkaiatan dengan urusan  syariat, dan karena itu pula sering dinyatakan sebagai kerja kulit luar.
Yang ingin disebutkan disini adalah bahwa kerja fuqaha pada periode ini dengan sendirinya amat terbatas tidak saja karena buruknya kondisi fiqh akibat munculnya beberapa fuqaha fanatik, melainkan juga akibat pernyataan-pernyataan exstatik yang menyudutkan kerja fuqaha. Bersamaan dengan itu, muncullah problema kesenjangan dalam fiqh, yaitu bagaimana fiqh yang dipahami cara tekstual dan kaku itu menjawab berbagai persoalan yang terus berkembang. Ada beberpa factor lain yang menyebabkan adanya jarak (baca:kesenjangan)antara fiqh secara teoritis dengan kenyataan social secara praktis.
Pertama, kekaguman yang berlebihan dari para ulama kepada imam dan guru. Mereka membatasi kerja hanya untuk membela dan menyebarkan pemikiran-pemikiran fiqh para imam dengan cara kodifikasi atau pengajaran pola kerja seperti ini denagnsendirinya mengakibatkan menculnya fanatisme yang tinggi terhadap hasil pemikiran para imam
Kedua, munculnya gerakan kodifikasi fiqh para imam. Kecermalangan fiqh periode sebelumnya telah mencapai puncak keemasan yang luar biasa. Para imam mewariskan tsarwah fiqiyah yang begitu mengagumkan. Pada periode ini para pengikut imam yang setia menghimpun dan menuliskan pemikiran-pemikiran fiqh yang belum ditulis sebelumnya. Disatu pihak dibukukannya fiqh guru mujtahid itu adalah positif, karena dengan demikian hasil kajian yang gemilang dari mujtahid terdahulu tidak sia-sia. Tetapi dilain pihak dirasakan pula efek negatifnya yaitu umat yang datang dibelakang hari telah mendapati pisang yang telah terkupas dan merasa tidak perlu lagi untuk menggunakan pemikiran dalam menggali yang baru. fiqih fardhi atau prekdisi atau peristiwa yang muncul dan memberikan hukumnya-yang biasa dilakukan oleh ulama- ulama terdahulu juga menjadikan kerja fuqaha periode ini terbatas pada penghimpunan dan penulisan. Sebab, hampir setiap persoalan yang muncul pada priode ini dapat ditemukan kententuan hukumannya dalam fiqh fardhi tersebut.
Ketiga,penggunaan mazhab tertentu dalam pengadilan.pada zaman sahabat,tabi’ien dan para imam mazhab,pelaksanaan pengadilan tidak menggunakan  ketentuan mazhab-mazhab tertentu.saat itu semua orang yang memenuhi syarat-syarat ijtihad boleh memutuskan hukum suatu kasus.bahkan,kemampuan berijtihad(malakah al-ijtihad al-mutlak)menjadi syarat utama bagi yang hendak memangku jabatan hakim.hal seperti itu tidak terlihat dalam periode ini.munculnya pendapat umum bahwa seorang hakim harus secara jelas menggunakan fiqih mazhab tertentu dalam pengadilan, telah mengakibatkan terbelenggunya para fuqaha dalam mengkaji pemikiran yang tertulis saja, terutama dalam pemikiran mahzab yang dianggap sebagai mahzab resmi Negara.
Keadaan seperti itu menyebabkan para ulama dan fuqaha islam sudah merasa puas dengan usaha membuat ikhtisar karya-karya ulama masa lalu. Mereka menghimpun dan membukukan hukum-hukum , permasalahan-permasalahan dan hasil ijtihad ulama masa lalu untu dikeluarkan kembali menjawab masalah-masalah dan problema-problema yang muncul belakangan. Sesudahitu mereka berusaha  memahaami. Hukum-hukum yang dihasilkan oleh para ulama  terdahulu diupayakan terjadi pengganti paling berharga dari kepentingan pemikiran dan kebekuan ilmiah mereka. Masalah ini lalu berkembang begitu jauh sehingga para fuqaha merasa puas mengembalikan segalanya pada ringkasan-ringkasan atau teks-teks dan komentar-komentar. Mereka tidak lagi mau mencoba berusaha sungguh-sungguh untuk kembali pada hukum-hukum asli pada imam mereka.






IV. KESIMPULAN
Keterpakuan tekstual terjadi karena adanya pemasungan terhadap kebebasan pendapat jadi para fuqaha tidak leluasa dalam menentukan hukum-hukum jadi banyak orang-orang hanya terpaku pada imam mahzab sebelumnya mereka hanya menhafal tanpa ada usaha Tanpa harus berfikir dan berijtihad atau melakukan pembaharuan dibidang hukum sehingga banyak yang beranggapan bahwa situasi yang terjadi menyebabkan fiqh hanya dipahami cara tekstual dan kaku itu dan tidak bisa menjawab berbagai persoalan yang terus berkembang.
Seiring dengan terjadinya kejumudan dan kemandegan pemikiran fiqh, sejarah juga banyak mencatat adanya  kebangkitan tasawuf. Meskipun belum ada penelitian mendalam tentang sejauh mana keterkaitan antara kemandegan fiqh dan kebangkitan tasawuf namun bila dilihat  dari konteks sejarahan perkembangannya yang begitu pesat disaat kemunduran melanda dalam dunia fiqh, kita juga bisa melihat sampai pada asumsi bahwa kebangkitan tasawuf ada kaitannya dengan mulai mengecilnya perhatian ulama terhadap fiqh dan permasalahannya.


V.    PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. Apabila ada kesalahan dari segi isi maupun dalam penulisan, itu merupakan kelemahan serta kekurangan kami sebagai insan biasa


















DAFTAR PUSTAKA
Mun’im A. Sirry. Sejarah Fiqih Islam. (Surabaya. Risalah Gusti. 1995).





Tidak ada komentar:

Posting Komentar