Kamis, 14 April 2011

DINASTI SAFAWI DI PERSIA_abdul.com


DINASTI SAFAWI DI PERSIA

  I.   PENDAHULUAN
 II. POKOK PEMBAHASAN
A.  Asal Usul Bangsa Safawi
B.  Perkembangan Kerajaan Safawi
C.  Masa Kejayaan Kerajaan Safawi
D.  Kemunduran dan Kehancuran Kerajaan safawi

III.    PEMBAHASAN
A.             Asal Usul Bangsa Safawi
Kerajan Safawi bermula dari gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat ini diberi nama Safawiyah karena pendirinya bernama Syeikh Safiyuddin Ishaq (1252-1334) seorang guru agama yang lahir dari sebuah keluaraga Kurdi di Iran Utara. Beliau merupakan anak murid seorang imam Sufi yaitu Syeikh Zahed Gilani (1216–1301) dari Lahijan. Safiyuddin kemudian menukar Ajaran Sufi ini kepada Ajaran Safawiyah sebagai tindak balas kepada pencerobohan tentara Mongol di wilayah Azerbaijan
Pada mulanya gerakan tasawuf Safawiyah ini bertujuan untuk memerangi orang-orang ingkar dan golongan Ahl Al-Bid’ah. Namun pada perkembangannya, gerakan tasawuf yang bersifat lokal ini berubah menjadi gerakan keagamaan yang mempunyai pengaruh besar di Persia, Syria dan Anatolia. Di negeri-negeri yang berada di luar Ardabil inilah, Safi al-Din menempatkan seorang wakil yang diberi gelar Khalifah untuk memimpin murid-murid di daerahnya masing-masing.
Gerakan Safawi mewakili sebuah kebangkitan Islam Populer yang menentang dominasi militer yang meresahkan dan bersifat eksploitatif. Tidak seperti gerakan lainnya, gerakan Safawiyah memprakarsai penaklukan Iran dan mendirikan sebuah pemerintahan baru yang berkuasa dari 1501 sampai 1722. Sang pendiri mengawali gerakannya dengan seruan untuk memurnikan dan memulihkan kembali ajaran Islam.
Pada waktu kerajaan Turki Usmani sudah mencapai puncak kejayaan, kerajaan Safawi di Persia masih baru berdiri. Namun pada kenyataannya, kerajaan ini dapat berkembang dengan cepat. Nama safawi ini terus dipertahankan sampai tarekat Safawiyah menjadi gerakan politik dan menjadi sebuah kerajaan yang disebut kerajaan Safawi. Dalam perkembangannya, kerajaan Safawi sering berselisih dengan kerajaan Turki Usmani
Kerajaan Safawi mempunyai perbedaan dari dua kerajaan besar islam lainnya seperti kerajan Turki Usmani dan Mughal.  Kerajaan ini menyatakan sebagai penganut Syi’ah dan dijadikan madzhab Negara. Oleh karena itu, kerajaan Safawi dianggap sebagai peletak dasar pertama terbentuknya Negara Iran dewasa ini.
B.             Perkembangan Kerajaan Safawi
Dalam perkembangannya Bangsa Safawi (tarekat Safawiyah) sangat fanatik terhadapajaran-ajarannya. Hal ini ditandai dengan kuatnya keinginan mereka untuk berkuasa, karena dengan berkuasa mereka dapat menjalankan ajaran agama yang telah mereka yakini (ajaran Syi’ah). Karena itu, lama kelamaan murid-murid tarekat Safawiyah menjadi tentara yang teratur, fanatik dalam kepercayaan dan menentang setiap orang yang bermazhab selain Syiah.
Bermula dari perajurit akhirnya mereka memasuki dunia perpolitikan pada masa kepemimpinan Syah Al-Junaid. Dinasti safawi memperluas geraknya dengan menumbuhkan kegiatan politik di dalam kegiatan kegiatan keagamaan. Perluasan kegiatan ini menimbulkan konflik dengan penguasaan kara koyunlu (domba hitam), salah satu suku bangsa turki yang akhirnya menyebabkan kelompok junaid kalah dan di asingkan kesuatu tempat. Di tempat baru ini ia mendapatkan perlindungan dari penguasa Diyar bakr, AK –Koyunlu juga suku bangsa turki.  Ia tinggal di istana  Uzun Hasan, yang ketika itu menguasai sebagian besar Persia.
Tahun 1459 M, Junaid mencoba merebut Ardabil tapi gagal. Pada tahun 1460 M. Ia mencoba merebut Sircasia tetapi pasukan yang dipimpinya dihadang oleh tentara Sirwan dan ia terbunuh dalam pertempuran tersebut. Penggantinya diserahkan kepada anaknya Haidar pada tahun 1470 M, lalu Haidar kawin dengan seorang cucu Uzun Haisan dan lahirlah Ismail dan kemudian hari menjadi pendiri kerajaan Safawi dan mengatakan bahwa Syi’ahlah yang resmi dijadikan mazhab kerajaan ini. Kerajaan inilah yang dianggap sebagai peletak batu pertama negara Iran.[1]
Gerakan militer Safawi yang dipimpin oleh Haidar di pandang sebagai rival politik oleh Ak-Koyunlu setelah ia menang dari Kara Koyunlu (1476 M). Karena itu, ketika Safawi menyerang wilayah Sircassia dan pasukan Sirwan, Ak-Koyunlu mengirimkan bantuan militer kepada Sirwan, sehingga pasukan Haidar kalah dan ia terbunuh.
Ali, putera dan pengganti Haidar, didesak bala tentaranya untuk menuntut balas atas kematian ayahnya, terutama terhadap Ak-Koyunlu. Akan tetapi Ya’kub pemimpin Ak-Koyunlu menangkap dan memenjarakan Ali bersama saudaranya, Ibrahim, Ismail dan ibunya di Fars (1489-1493 M). Mereka dibebaskan oleh Rustam, putera mahkota Ak-Koyunlu dengan syarat mau membantunya memerangi saudara sepupunya. Setelah dapat dikalahkan, Ali bersaudara kembali ke Ardabil. Namun, tidak lama kemudian Rustam berbalik memusuhi dan menyerang Ali bersaudara dan Ali terbunuh (1494 M).
Periode selanjutnya, kepemimpinan gerakan Safawi di serahkan pada Ismail. Selama 5 tahun, Ismail beserta pasukannya bermarkas di Gilan untuk menyiapkan pasukan dan kekuatan. Pasukan yang di persiapkan itu diberi nama Qizilbash (baret merah).
Pada tahun 1501 M, pasukan Qizilbash dibawah pimpinan Ismail menyerang dan mengalahkan Ak-Koyunlu (domba putih) di sharur dekat Nakh Chivan. Qizilbash terus berusaha memasuki dan menaklukkan Tabriz, yakni ibu kota Ak-Koyunlu dan akhirnya berhasil dan mendudukinya. Di kota Tabriz Ismail memproklamasikan dirinya sebagai raja pertama Dinasti Safawi. Ia disebut juga Ismail I.
Ismail I berkuasa kurang lebih 23 tahun antara 1501-1524 M. Pada sepuluh tahun pertama ia berhasil memperluas wilayah kekuasaannya, Buktinya ia dapat menghancurkan sisa-sisa kekuatan Ak-Koyunlu di Hamadan (1503 M), menguasai propinsi Kaspia di Nazandaran, Gurgan dan Yazd (1504 M), Diyar Bakr (1505-1507 M) Baghdad dan daerah Barat daya Persia (1508 M), Sirwan (1509 M) dan Khurasan. Hanya dalam waktu sepuluh tahun itu wilayah kekuasaannya sudah meliputi seluruh Persia dan bagian timur Bulan Sabit Subur .
Safawiah menegaskan persekutuan mereka dengan Syi’ah, dan Syah Ismail menyatakan bahwa dirinya adalah sebagai sang imam tersembunyi, sebagai reinkarnasi dari Ali, dan sebagai simbol wujud ketuhanan. Ismail mengklaim sebagai keturunan dari imam ketujuh, dan sebagai generasi ketujuh dalam garis keturunan Safawiah, di mana setiap imam secara berurutan merupakan pembawa cahaya ketuhanan yang disampaikan dari satu generasi kegenerasi yang lainnya. Dengan kecenderunganya kepada sin kereatisme relegius dari beberapa gerakan sufi yang telah berlangsung selama dua abad di Iran barat, dan dengan menggabungkan beberapa pengaruh keagamaan yang berbeda-beda, termasuk Syi’isme, mesiannisme, Sunni, dan Budhisme. Ismail juga menyatakan secara tegas bahwa dirinya adalah reinkarnasi dari Khidir, pembawa kebijaksanaan masa lampau, dan sebagai ruh Yesus. Dengan diterangi cahaya ketuhanan yang mana cahaya tersebut mendahului Al-Qur’an dan penciptaan alam semesta ini, yang diturunkan oleh keluarga Nabi untuk ditumbuhkan didalam diri Ismail, maka ia menjadi seorang mesiah, Syah, pemilik kekuasaan temporal dan sekaligus pemilik kerajaan mistikal. Berdasarkan beberapa klaim keagamaan ini, tokoh-tokoh Syafawiah menuntut sebuah kepatuhan absolut dan tanpa keraguan absolut dari para tokoh sufi mereka.[2]
Isma’il memberlakukan faham Syi’ah sebagai madzhab resmi negara. Untuk menerapkan keinginannya ini ia sering mendapat tantangan dari Ulama’ Sunni. Pertentangan ideologi muncul akibat penerapan faham Syi’ah ini. Syah Ismail tidak segan-segan menerapkan faham ini dengan tindakan kekerasan. Di Baghdad dan Herat, misalnya, Syah Isma’il membunuh secara kejam para Ulama’ dan sastrawan sunni yang menolak ideologi Syi’ah. Akibatnya hingga  beberapa dekade kemudian para penganut Sunni di Kurasan, misalnya, harus menyembunyikan identitas Sunni mereka atau mempraktekkan tradisi Sunninya secara sembunyi-sembunyi.
Isma’il adalah orang yang sangat berani dan berbakat. Ambisi politiknya mendorong untuk menguasai negara lain sampai Turki Usmani. Namun dalam peperangan ia dikalahkan pasukan militer Turki yang lebih unggul dalam kemiliteran. Karena keunggulan militer kerajaan Usmani, dalam peperangan ini Isma’il mengalami kekalahan, malah Turki Usmani dibawah pimpinan Sultan Salim dapat menduduki Tabriz. Kerajaan Safawi terselamatkan oleh pulangnya sultan Salim ke Turki karena terjadi perpecahan  dikalangan militer Turki di negrinya.
Kekalahan akibat perang dengan Turki Usmani ini membuat Isma’il frustasi. Ia lebih senang menyendiri, menempuh kehidupan hura-hura dan berburu. Keadaan itu berdampak negatif bagi kerajaan Safawi dan pada akhirnya terjadi persaingan dalam merebut pengaruh untuk dapat memimpin kerajaan Safawi antara suku-suku Turki, pejabat keturunan Persia dan Qizilbash.[3]
Rasa permusuhan dengan Kerajaan Usmani terus berlangsung sepeninggal Ismail I, peperangan antara dua kerajaan besar Islam ini terjadi beberapa kali pada masa pemerintahan Tahmasp I (1524-1576 M), Ismail II (1576-1577 M) dan Muhammad Khudabanda (1577-1567M). Pada masa tiga raja tersebut kerajaan Safawi mengalami kelemahan. Hal ini di karenakan sering terjadinya peperangan melawan kerajaan Usmani  yang lebih kuat, juga sering terjadi pertentangan antara kelompok dari dalam kerajaan Safawi sendiri.
Berikut urutan penguasa kerajaan Safawi:
Nama Syah
Tahun Masehi
Tahun hijri
Isma’il I
Thahmsap I
Isma’il II
Muhamad Khudabanda
Abbas I
Shafi I
Abbas II
Sulayman I (Shafi II)
Husayn I
Thahmasp II
Abbas III
Sulayman II
Isma’il III
Husayn II
1501
1524
1576
1578
1588
1629
1642
1666
1694
1722
1732
1749
1750
1753
1786
907
930
984
985
996
1038
1052
1077
1105
1135
1145
1163
1163
1166
1200
C.             Masa Kejayaan Kerajaan Safawi
Kondisi Kerajaan Safawi yang memprihatinkan itu baru bisa diatasi setelah raja Safawi ke lima, Abbas I naik tahta (1588-1628). Popularitas Abbas I ditopang oleh sikap keagamaannya. Ia terkenal sebagai seorang Syi’ah yang shaleh. Sebagai bukti atas kesalehannya adalah bahwa dia sering berziarah ketempat suci Qum dan Masyhad. Disamping itu Ia pun melakukan perubahan struktur birokasi dalam lembaga politik keagamaan. Lembaga sadarat secara berangsur-angsur dagantikan oleh lembaga ‘Ulama yang dipimpin oleh seorang syikhul Islam. Dalam tradisi Sunni lembaga tersebut menunjukkan pemisahan struktur kekuasaan politik antara Ulama dan Umara. Abbas I telah berhasil menciptakan kemajuan pesat dalam bidang keagamaan, yang membuat ideologi Syi’ah semakin dikukuhkan.[4]
Langkah-langkah yang ditempuh oleh Abbas I dalam rangka memulihkan kerajaan Safawi adalah :
1.      Berusaha menghilangkan dominasi pasukan Qizilbash dengan cara membentuk pasukan baru yang berasal dari budak-budak dan tawanan perang bangsa Georgia, Armenia, dan Sircassia
2.      Mengadakan perjanjian damai dengan Turki Usmani dengan jalan menyerahkan wilayah Azerbaijan, Georgia, dan disamping itu Abbas berjanji tidak akan menghina tiga Khalifah pertama dalam Islam (Abu Bakr, Umar, dan Usman) dalam khutbah-khutbah Jum’at. Sebagai jaminan atas syarat itu, Abbas memyerahkan saudara sepupunya Haidar Mirza sebagai sandera di Istambul.[5]
Semenjak masa Syah Abbas , pedagang-pedagang Armenia yang bersekutu dengan Inggris, Prancis, Belanda, dan dengan dukungan dari sang Syah, tengah bersaing dengan pihak Usmani dan Portugis dalam perdagangan barang-barang sutra, karpet wool, kain selendang, dan porselin. Meskipun demikian, pada akhir abad tujuh belas pedagang-pedagang Eropa pada dasarnya telah menguasai perdagangan Iran dan sejumlah keuntungan Ekonomis dari perdagangan dunia agaknya telah lepas dari Iran.
Kunci dari program administrasi dan ekonomi Syah Abbas adalah pembentukan ibu kota baru yang besar di Isfahan. Isfahan merupakan  kota yang sangat penting bagi tujuan politik dan ekonomi bagi negara Iran dan bagi legitimasi dinasti Safawiyah. Safawiyah membangun kota baru tersebut mengitari Mydani-Syah, yakni sebuah alun-alun yang besar yang luasnya sekitar 160×500 meter. Alun-alun tersebut berfungsi sebagai pasar tempat perayaan dan sebagai lapangan permainan polo. Ia dikelilingi oleh sederetan toko bertingkat dua, dan sejumlah gedung utama pada setiap sisinya. Pada sisi bagian timur terdapat Masjid Saikh Lutfallah, yang mulai dibangun pada 1603 dan selesai pada 1618, merupakan sebuah oratorium yang disediakan sebagai tempat peristirahatan pribadi Syah.
Sejumlah bazar di Isfahan sangat penting kedudukannya bagi perokonomian negara, sebab ia nerupakan pusat produksi dan kegiatan pemasaran dan mereka berada di dalam pengawasan petugas perpajakan negara. Ibukota tersebut juga sama pentingnya bagi vitalitas Islam-Iran. Pada tahun 1666, menurut keterangan seorang pengunjung bangsa Eropa, Isfahan memiliki 162 masjid, 48 perguruan, dan 273 tempat pemandian umum, yang hampir seluruhnya dibangun oleh Abbas I dan penggantinya Abbas II (1642-1666)
Di bawah pemerintahan Abbas I Kerajaan Safawi mencapai kekuasan politiknya yang tertinggi. Pemerintahannya merupakan sebuah pemerintahan keluarga yang sangat dihormati dengan seorang penguasa yang didukung oleh sejumlah pembantu, tentara administrator pribadi. Sang penguasa saecara penuh mengendalikan birokrasi dan pengumpulan pajak, memonopoli kegiatan industri dan penjualan bahan-bahan pakaian dan produk lainnya yang penting, membangun sejumlah kota besar, dan memugar sejumlah tempat keramat dan jalan-jalan sebagai ekspresi dari kepeduliannya terhadap kesejahteraan rakyatnya.[6]
Di bidang politik, keberhasilan menyatukan wilayah-wilayah Persia dibawah satu atap, merupakan kesuksesanya di bidang politik. Betapa tidak, karena sebelumnya wilayah Persia terpecah dalam berbagai dinasti kecil yang bertaburan dimana-mana, sehingga para sejarawan berpendapat bahwa keberhasilan Safawiyah itu merupakam kebangkitan nasionalisme Persia.[7]
Kemajuan yang dicapai kerajaan Safawi tidak hanya terbatas dibidang politik, melainkan bidang lainnya juga mengalami kemajuan. Kemajuan-kemajuan itu antara lain:
1.    Bidang Ekonomi
Kemajuan ekonomi dicapai terutama setelah kepulauan Hurmua dikuasai dan pelabuhan Gumrun diubah menjadi bandar Abbas. Dengan dikuasainya Bandar ini maka salah satu jalur dagang laut antara timur dan barat yang biasa diperebutkan oleh Belanda, Inggris, dan Prancis sepenuhnya jadi milik Kerajaan. Sektor pertanian juga mengalami kemajuan terutama didaerah bulan sabit subur.[8]
Letak Geografis Persia yang setrategis dan sebagian wilahnya yang subur sehingga disebut sebagai daerah bulan sabit subur, membuat mata dunia internasional pada saat itu memusatkan perhatiannya ke Persia. Portugal, Inggris, Belanda, dan Prancis berlomba-lomba menarik simpati istana Safawiyah. Bahkan Inggris telah mengirim duta khusus dan ahli pembuat senjata modern guna membantu memperkuat militer Safawiyah.
2.    Bidang Ilmu Pengetahuan
Kemajuan di bidang tasawuf ditandai dengan berkembangnya filsafat ketuhanan (al-Hikmah al-ilahiyah) yang kemudian terkenal dengan sebutan filsafat “pencerahan’’. Adapun tokoh terbesarnya adalah Mulla Sadra.[9]
Sepanjang sejarah Persia dikenal sebagai bangsa yang telah berperadaban tinggi dan berjasa mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, sejumlah ilmuan yang  selalu hadir di majlis istana yaitu Baha al-Din al-Sayrazi, generalis ilmu pengetahuan, Sadar al-Din al-Syaerazi, filosof, dan Muhammad al-Baqir ibn Muhammad Damad, filosof, ahli sejarah, teolog dan seorang yang pernah mengadakan observasi tentang kehidupan lebah.[10] Selain itu ada juga Bahauddin Al-’Amali bukan saja seorang ahli teolog dan sufi, tapi ia juga ahli matematika, arsitek, ahli kimia yang terkenal. Ia menghidupkan kembali studi matematika dan menulis naskah tentang matematika dan astronomi untuk menyimpulkan ahli-ahli terdahulu.[11]Dalam bidang ilmu pengetahuan, kerajaaan Safawi dapat dikatakan lebih maju dibanding Mughal dan Usmani
3.    Bidang Pembangunan Fisik dan Seni
Kemajuan bidang seni arsitektur ditandai dengan berdirinya sejumlah bangunan megah yang memperindah Isfahan sebagai ibukota kerajaan. Sejumlah Masjid, sekolah, rumah sakit, jembatan yang memanjang diatas Zende Rud dan istana Chihil Sutun.  Kota Isfahan juga diperindah dengan kebun wisata yang tertata apik.
Sejumlah kekurangan yang menyertai keberhasilan Syah Abbas yaitu, Abbas tidak pernah berhasil dalam menegakkan sebuah rezim yang benar-benar memusat. Beberapa kebijakannya dalam bidang administratif dan kemiliteran yang mengurangi tokoh-tokoh Turki tidak pernah berhasil menggeser kedudukan mereka. Kebijakannya dalam perdagangan hanya berhasil dalam sesaat, beberapa progam keagamaan dan artistiknya mestilah disesuaikan dengan kebijakan yang lain. Akhirnya para elite perkotaan dan tuan tanah perkampungan juga terlalu lemah untuk mendukung sebuah negara yang memusat.
Beberapa perayaaan di bulan Muharram menjadi pusat seremonial dalam kalender keagamaan Syi’ah. Pembacaan kisah Hasan yang sangat memilukan hati, beberapa mata acara meliputi arak-arakan masa, pertunjukan yang sangat  mengasyikkan, pidato dan pembacaan sya’ir-sya’ir ratapan, melambangkan rasa berkabung dan perasaan bersalah atas kematiannya. Beberapa kelompok ketetanggaan, geng-geng pemuda, dan beberapa faksi keagamaan berlomba-lomba dalam pemujaan terhadap Husayn bahkan sampai menimbulkan pertumpahan darah. Demikianlah Syi’isme telah menyalin seluruh sensibilitas keagamaan yang kompleks yang sebelumnya telah berkembang dalam Sunnisme. Dengan demikian ia telah menjadi sebuah alternatif versi Islam yang kompherensif.[12]
D. Kemunduran dan Kehancuran Kerajaan safawi
Kemunduran pemerintahan pusat telah berlangsung sepeninggal Abbas I. Setelah Abbas I tidak ada seorang pun yang memiliki visi ataun kecakapan sebagaimana Abbas, lebih- lebih setelah perjanjian dengan pihak Usmani pada tahun 1639,  pasukan militer Safawiyah terbengkalai dan terpecah menjadi sejumlah resimen kecil dan lemah. Pada akhir abad tujuh belas, pasukan militer Safawiyah tidak lagi menjadi sebuah mesin militer yang berguna. Adminitrasi pusat juga mengalami perpecahan, dan beberpa prosedur penertiban pajak dan distribusi pendapatan negara menjadi tidak terkendalikan. Melemahnya pemerintahan pusat memungkinkan bangkitnya sejumlah pemberontakan otoritas Safawiyah. Pada abad delapan belas Iran telah dilanda kondisi anarkis. Di antara pihak yang memperebutkan kekuasaan politik yang paling besar adalah rezim Afghan, Afshar, Zand, dan Qajar. Pada tahun 1724, Ghalzai Afghan mengambil alih kekuasaan atas Isfahan. Selanjutnya Iran diserang oleh Usmani dan bangsa Rusia yang berbatasan dengannya.[13]
Pemberontakan bangsa Afghan tersebut terjadi pertama kali pada tahun 1709 M, dibawah pimpinan Mir Vays yang berhasil merebut wilayah Qandahar. Pemberontakan lainnya terjadi di Heart, suku Ardabil di Afghanistan berhasil menduduki Mashad. Mir Vays diganti oleh Mir mahmud dan ia dapat memperasatukan pasukan Ardabil,  sehimgga ia mampu merebut negri-negri Afghan dari kekuasaan Safawi.
Karna desakan dan ancaman Mir Mahmud,Syah Husain akhirnya mengakui kekuasaan Mir Mahmud dan mengangkatnya menjadi gubernur di Qandahar dengan gelar Husai Quli Khan (budak husain).dengan pengakuan ini, Mir mahmud makin leluasa bergerak sehingga tahun 1721 M, ia dapat merebut Kirman dan tak lama kemudian ia menyerang Isfahan dan memaksa Syah Husain menyerah tanpa syarat. Pada tanggal 12 oktober 1722 M Syah Husain menyerah dan 25 oktober Mir Mahmud memasuki kota Isfahan dengan penuh kemenangan.[14]
Salah seorang putra Husain,bernama Tahmasp II, mendapat dukungan penuh dari suku Qazar dari Rusia,memproklamasikan dirinya sebagai raja yang sah dan berkuasa atas Persia dengan pusat kekuasaanya di kota Astarabat. Tahun 1726 M, Tahmasp II bekerjasama dengan Nadir Khan dari suku Afshar untuk memerangi dan mengusir bangsa Afghan yang menduduki Isfahan. Asyraf, pengganti Mir Mahmud, yang berkuasa di Isfahan di gempur dan dikalahkan oleh pasukan Nadir Khan tahun 1729 M. Asyraf sendiri terbunuh dalam peperangan itu. Dengan demikian dinasti Syafawi mulai berkuasa. Namun,pada bulan Agustus 1732 M, Thahmasap ll dipecat oleh Nadir Khan dan digantikan oleh Abbas lll (anak Tahmasp ll) yang ketika itu masih sangat kecil. Empat tahun setelah itu, tepatnya tanggal 8 Maret 1736, Nadir Khan mengangkat dirinya sebagai raja menggantikan Abbas lll. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan  dinasti safawi di persia.[15]
Adapun sebab- sebab kemunduran dan kehancuran kerajaan Safawi adalah:
1.      Adanya konflik yang berkepanjangan dengan kerajaan Usmani. Berdirinya kerajaan Safawi yang bermadzhab Syi’ah merupakan ancaman bagi kerajaan Usmani
2.      Terjadinya degradasi moral yang melanda sebagian pemimpin kerajaan Safawi, yang juga ikut mempercepat proses kehancuran kerajaan ini.
3.      Pasukan Ghulam (budak-budak) yang dibentuk Abbas l ternyata tidak memiliki semangat perjuangan yang tingi.
4.      Seringnya terjadi konflik intern dalam bentuk perebutan kekuasaan dikalangan  keluarga istana.
Selain hal tersebut di atas,pada abad 17 beberapa kalangan Ulama Syiah tidak lagi mau mengakui bahwa Safawiyah telah mewakili pemerintahan sang imam tersembunyi.pertama,Ulama mulai meragukan otoritas Syah yang berlangsung secara turun temurun tersebut sebagai penanggung jawab pertama atas ajaran islam Syiah. Kedua, selaras dengan keyakinan Syiah,bahkan semenjak masa keghaiban besar tahun 941 sang imam tersembunyi tidak lagi terwakili di muka bumi oleh Ulama.Selanjutnya Ulama menegaskan bahwasannya Mujtahid menduduki otoritas keagamaan yang tertinggi.
Kehancuran rezim ini juga di sebabkan sejumlah perubahan yang luar biasa dalam hal hubungan negara dan agama.Safawiyah semula merupakan sebuah gerakan,tetapi setelah berkuasa rezim ini justru menekan bentuk bentuk millenarian islam sufi seraya cenderung kepada pembentukan lembaga ulama negara. Safawiyah menjadikan Syiisme sebagai agama resmi Iran, dan mengeliminir pengikut sufi mereka sebagai mana yang dilakukanya terhadap ulama sunni.
Krisis abad 18 mengantarkan kepada berakhirnya sejarah Iran pramodern. Hampir diseluruh wilayah muslim, priode pramodern yang berakhir dengan Interfensi, penaklukan bangsa eropa, dan dengan pembentukan beberapa razim kolonial, maka dalam hal ini konsolidasi ekonomi dan pengaruh politik bangsa eropa telah didahului dengan kehancuran Inperium Safawiyah dan dengan liberalisasi ulama. Demikianlah, Rezim safawiyah telah meninggalkan warisan kepada Iran modern berupa tradisi persia perihal sistem kerajaan yang agung, yakni sebuah rezim yang dibangun berdasarkan kekuatan uymaq atau unsur unsur kesukuan yang utama, dan mewariskan sebuah kewenangan keagamaan syiah yang kohesif, monolitik dan mandiri.[16]
IV.    KESIMPULAN
 V.      PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Carl Brokelmann, Tarikh asy-Syu’ub al-Islamiyah, Beirut: Dar el-Ilm, 1974, hlm. 503.
Didin Saepudin, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: UIN Jakarta press, 2007, hlm.179.
Lapidus, Ira m, Sejarah Sosoial Umat Islam, Jakarta: Rajawali perss, 1999, hlm. 442.
PM Holt, The Cambrigde History Of Islam, Bandung: 1970, hlm. 426.
SH Nasr, Sains dan Peradaban di Dalam Islam, Bandung: 1986, hlm. 40-41.
Yatim , Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Rajawali Perss, 1993, Hlm 139-140.



[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Rajawali Pers, 1993, hlm. 139-140
[2] Lapidus, Ira m, Sejarah Sosoial Umat Islam, Jakarta : Rajawali pers, 1999, hlm. 442
[3] Didin Saepudin, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : UIN Jakarta pers, 2007, hlm. 179
[4] Ibid, hlm. 180
[5] Carl Brokelmann, Tarikh asy-Syu’ub al-Islamiyah, Beirut : Dar el-Ilm, 1974, hlm. 503
[6] Opcit, Lapidus, hlm. 452
[7] Opcit, Carl Brockelmann, Tarikh, hlm. 505
[8] Ibid, hlm. 144
[9] Opcit, Didin Saipudin, hlm. 180
[10] Opcit, Carl Brockelmann, hlm. 504
[11] SH Nasr, Sains dan Peradaban di Dalam Islam, Bndung :1986, hlm. 40-41
[12] Opcit, Lapidus Ira M, hlm. 462
[13] Ibid, hlm. 463
[14] PM Holt, The Cambrigde History Of Islam, Bandung :1970, hlm. 426
[15] Ibid, hlm. 428-429
[16] Opcit, Lapidus Ira M, hlm. 465-467

Tidak ada komentar:

Posting Komentar