Kamis, 14 April 2011

ANNADLRU ILA AL-MAKHTHUBAH

ANNADLRU  ILA AL-MAKHTHUBAH

I.       PENDAHULUAN
Manusia diciptakan oleh Allah Swt sebagai makhluk yang paling mulia, ia bukanlah sesosok makhluk yang sekedar memiliki jasad/organisme hidup, sehingga kehidupan yang dijalaninya pun bukan sekedar untuk tujuan memperoleh makan, tumbuh, berkembang-biak, lalu mati. Manusia diciptakan ke alam dunia ini disertai pula dengan berbagai potensi kehidupan yang diberikan oleh-Nya. Berbagai potensi kehidupan tersebut harus merupakan sesuatu yang disadari/difikirkan oleh manusia. Diantara potensi kehidupan tersebut adalah berupa naluri-naluri (gharaizh) yang diantaranya pula adalah naluri untuk melestarikan keturunan ataupun tertarik kepada lawan jenis (gharizatu nawu).

II.    PERMASALAHAN
A.    Pengertian.
B.     Melihat calon pinangan.
C.     Kurun waktu dalam menempuh khithbah.
D.    Yang diperbolehkan bagi peminang
E.     Pembatalan Khithbah Dan Hal-Hal Yang Ditimbulkannya
III.  PEMBAHASAN
  1. Pengertian Khithbah
Dalam merencanakan kehidupan berumah tangga, diantara langkah yang harus ditempuh oleh seorang ikhwan adalah menetapkan seorang akhwat yang diinginkan untuk menjadi calon istrinya. Secara syar’i ikhwan tersebut menjalaninya dengan melakukan khithbah (peminangan) kepada akhwat yang dikehendakinya. Adapun salah satu tujuan disyari’atkannya khithbah adalah agar masing-masing pihak dapat mengetahui calon pendamping hidupnya .
Sedangkan menurut Dr. Wahbah Az-Zuhaily (dalam MR. Kurnia, 2005:19) menjelaskan yang dimaksud Khithbah adalah menampakan keinginan menikah terhadap seorang perempuan tertentu dengan memberitahu perempuan yang dimaksud atau keluarganya (walinya). Selain itu Sayid Sabiq juga menyatakan bahwa yang dikatakan seseorang sedang mengkhitbah seorang perempuan berarti ia memintanya untuk berkeluarga yaitu untuk dinikahi dengan cara-cara (wasilah) yang ma’ruf.
Islam telah menganjurkan dan bahkan memerintahkan kaum muslimin untuk melangsungkan pernikahan. Berkaitan dengan anjuran untuk menikah,Allah Swt, berfirman:
(Nikahilah oleh kalian perempuan-perempuan yang kalian sukai (QS.An-Nisa [4]:3)
Ibnu Mas’ud menuturkan bahwa Rasulullah Saw telah mengingatkan:
”Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah sanggup memikul beban. Hendaklah ia segera menikah, karena hal itu dapat menundukan pandangan dan menjaga kehormatan. Sebaliknya siapa saja yang belum mampu, hendaklah ia shaum karena hal itu dapat menjadi perisai”.

  1.  Melihat Calon Pinangan
Syamsudin Ramdhan mengungkapkan bahwa sebagian ulama berpendapat, diperbolehkan bagi pelamar untuk melihat wanita yang dilamarnya, tetapi ia tidak boleh melihat auratnya. Sebagaimana Jabir menuturkan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda:
”Jika salah seorang di antara kalian meminang seorang perempuan, sekiranya ia dapat melihat sesuatu darinya yang mampu menambah keinginan untuk menikahinya, maka hendaklah ia melihatnya.”( HR. Abu Dawud dan Hakim )
Dibolehkannya melihat perempuan yang dikhitbah ini sebenarnya membawa banyak hikmah, diantaranya adalah dengan melihatnya akan lebih memantapkan hati untuk menikahinya. Kebolehan melihat ini adalah kekhususan pada saat mengkhithbah. Sebagian ulama lagi membolehkan untuk melihat bukan hanya wajah dan telapak tangan, melainkan lebih dari itu karena wajah dan telapak tangan merupakan anggota badan perempuan yang terlihat sehari-hari. Sehingga perintah untuk melihat, dalam hadits tersebut tentu yang dimaksud bukan hanya wajah dan telapak tangan.
Seorang Akhwat Berhak untuk Menerima ataupun Menolak Khithbah
An-Nabhaniy (2001:161) mengungkapkan bahwa jika seorang wanita telah dilamar, maka dirinyalah yang berhak untuk menerima ataupun menolak calon suaminya, bukan hak salah seorang walinya ataupun orang-orang yang akan mengawinkannya tanpa seizin wanita yang bersangkutan, dan dia pun tidak boleh dihalang-halangi untuk menikah.

  1. Kurun Waktu dalam Menempuh Khithbah
Kurun waktu khithbah adalah rentang waktu antara diterimanya khithbah (akad khithbah) hingga dilangsungkannya pernikahan (akad nikah) (muhamad thalib, 2002:69) bagi seorang ikhwan yang telah mengkhithbah akhwat, berapa lamakah rentang waktu yang harus ia lewati hingga ia dapat melangsungkan pernikahan dengannya?berdasarkan peristiwa khithbah yang terjadi pada masa rasulullah saw yaitu antara abdurrahman bin ‘auf terhadap ummu hakim binti qarizh, dimana abdurahman bin ‘auf telah melakukan pengkhitbahan secara langsung kepada ummu hakim kemudian dilangsungkan pula pernikahannya pada waktu itu. Terhadap kejadian ini rasulullah tidak menyalahkan perbuatan abdurahman bin ‘auf, yang berarti pula hal ini menunjukan persetujuan beliau saw.
Jadi, sebenarnya tidak ada batasan waktu yang pasti untuk melangsungkan pernikahan pasca dilakukannya khithbah, apakah 1 hari, 1 minggu, 1 bulan, atau bahkan satu tahun setelahnya. Hanya saja berkaitan dengan hal ini, syara’ juga menganjurkan untuk menyegerakan suatu perbuatan kebaikan apabila telah diniatkan. Rasulullah saw telah mengingatkan:
“bersegeralah beramal sebelum datang berbagai fitnah laksana potongan-potongan malam yang gelap. (saat itu) di pagi harinya seseorang beriman tetapi di sore harinya ia menjadi kafir. Di sore hari seseorang beriman tapi di pagi harinya ia kafir. Ia menjual agamannya dengan harta dunia.” (HR. Muslim Dan Abu Hurayrah).

  1. Yang Diperbolehkan Bagi Peminang
Hal-Hal Yang Diperbolehkan Bagi Peminang, Antara Lain[1]:
1.  Melihat wanita yang dipinang.
Diriwayatkan dari Abu hurairah r.a ia berkata “ aku berada disamping Nabi SAW ketiks seorang laki-laki  mendatangi beliau memberi kabar bahwasanya ia akan menikahi wanita anshar, maka rasulullah bertanya kepadanya, “ apakah kamu sudah melihat wanita itu” laki-lakiitu menjawab, “ belum” rasulullah bersabda,

فاذهب فانظر اليها فإن في اعين الانصار شيئا.
Pergi Dan Lihatlah Dia (Wanita Anshar Itu) Karena Pada Mata Kaum Anshar Terdapat Sesuatu
Diriwayatkan dari Al- mughirah bin syub’ah bahwasanya ia mengkhithbah  wanita anshar, maka rasulullah SAW berkata kepadanya,
Pergilah, lihatlah dia (wanita anshar), maka sesungguhnya dengan melihatnya lebih menumbuhkan rasa kasih sayang diantara kalian berdu
Maka dengan membaca hadits diatas, kita bisa berpendapat bahwasanya wanita yang dikhitbah tidak perlu melihat laki-laki yang meminang. Walaupun secara umum  wanita diperbolehkan melihat laki-laki, akan tetapi sebaiknya tidak perlu dilakukan kecuali dalam keadaan terpaksa, khususnya pada zaman sekarang ini yang penuh dengan fitnah.
2.  Boleh berbicara dengan wanita yang dikhithbah disertai mahram atau salah satu dari keluarga wanita, seperti saudara laki-laki saudara wanita atau ibunya.
3.  Tidak diperbolehkan bagi laki-laki yang meminang untuk berduaan dengan wanita yang dipinang tanpa adanya orang ketiga.
Hal itu karena  laki-laki yang meminang dan wanita yang dipinang dihukumi masih sebagai orang asing. Dari itu, ketika tidak diperbolehkan berduaan dengan orang lain(orang yang bukan mahram), maka hal itu juga berlaku bagi laki-laki dan wanita yang sedang dalam proses khithbah peminangan.
Diriwayatkan dari ibnu abbas r.a bahwasanya ia mendengar nabi SAW bersabda,

لايخلون رجل بامرأة ولاتسافرن امرأة الا ومعها محرم.
Janganlah seorang laki-lakii berduaan dengan seorang  wanita . dan janganlah seorang wanita melakukan perjalanan kecuali  bersamanya seorang mahram
  1. Pembatalan Khithbah Dan Hal-Hal Yang Ditimbulkannya
Khithbah atau peminangan sebagaimana yang telah kami sebutkan adalah janji untuk menikahi, bukan pernikahan itu sendiri. Oleh karena itu, terkadang pembatalan pinangan benar-benar terjadi ketika salah satu atau kedua belah pihak  merasa tidak ada kecocokan untuk dapat melanjutkan keproses pernikahan.
Berpalingnya satu pihak dari yang lain adalah hal yang diperbolehkan menurut syariat, dengan pertimbangan bahwa khithbah dalam pandangan syariat bukanlah suatu akad, namun sebatas perjanjian untuk menikah. Oleh sebab itu, pembatalan khithbah tidak mengharuskan laki-laki yang meminang dan wanita yang dipinang menjalani apa yang harus dijalani akibat berakhirnya pernikahan.
Hanya saja yang kita ketahui dalam kehidupan kontemporer kita saat ini bahwa pinangan sudah sangat lazim menurut adanya pemberian –pemberian kepada wanita yang dipinang , yang mana pemberian terpentingnya adalah cincin  atau yang terkenal dengan istilah tukar cincin.
Terkadang peminang menyerahkan sebagian atau seluruh mahar, yang dimaksudkan untuk menunjukkan berpegangnya peminang kepada wanita yang dipinang atau untuk menunjukkan keseriusannya. Terkadang pihak wanita yang memberi hadiah-hadiah kepada calon suaminya[2].

IV. KESIMPULAN
Dalam merencanakan kehidupan berumah tangga, diantara langkah yang harus ditempuh oleh seorang ikhwan adalah menetapkan seorang akhwat yang diinginkan untuk menjadi calon istrinya. Secara syar’i ikhwan tersebut menjalaninya dengan melakukan khithbah (peminangan) kepada akhwat yang dikehendakinya. Khithbah atau peminangan sebagaimana yang telah kami sebutkan adalah janji untuk menikahi, bukan pernikahan itu sendiri. Oleh karena itu, terkadang pembatalan pinangan benar-benar terjadi ketika salah satu atau kedua belah pihak  merasa tidak ada kecocokan untuk dapat melanjutkan keproses pernikahan.
Dan peminangan tidak selesai hanya dengan permintaan laki-laki menjadi suami seorang wanita diterima, dan hatinya tenang karena wanita tersebut akan menjadi istri yang cocok untuknya. Akan tetapi kedua belah pihak perlu menyempurnakan pinangan dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanakan pernikahan seperti pemberian mahar perabot rumah tangga dan lain sebagainya. Oleh karena itu, pinangan tidak dianggap sebagai akad nikah

V.   PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. Apabila ada kesalahan dari segi isi maupun dalam penulisan, itu merupakan kelemahan serta kekurangan kami sebagai insan biasa.




















DAFTAR PUSTAKA

An-Nabhani, Taqiyudin. Sistem Pergaulan Dalam Islam. Kitab Mutabanat Hizbut Tahrir. Bogor: PTI 2001.
Jad, Syaikh Ahmad,  fiqih sunnah wanita, Pustaka Al- kautsar, Jakarta:2008.
Ramdhan, Syamsudin.. Fikih Rumah Tangga. Pedoman Membangun Keluarga Bahagia. Bogor: Ide Pustaka;2004.
















[1] Jad, Syaikh Ahmad,  fiqih sunnah wanita, Pustaka Al- kautsar, Jakarta:2008, hal 408-409.
[2]  Jad, Syaikh Ahmad,  fiqih sunnah wanita, Pustaka Al- kautsar, Jakarta:2008, hal 409-410.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar